Writer: Astriyani Sijabat - Rabu, 19 November 2025
FYP Media - Pasar Buku Kwitang bukan sekadar deretan kios tempat orang membeli buku. Ia adalah simbol perjalanan literasi Jakarta—ruang di mana generasi demi generasi pernah menambatkan rasa ingin tahunya. Kini, meski tidak lagi seramai masa keemasannya, kawasan ini ternyata belum mati. Justru, Kwitang sedang menempuh bentuk baru untuk bertahan di tengah gempuran zaman digital.
Artikel ini mengupas 7 fakta menarik yang menunjukkan bagaimana Kwitang tetap hidup, berevolusi, dan masih menyimpan magnet nostalgia yang kuat bagi para pencintanya.
1. Kawasan Legendaris yang Waktu Seakan Tak Mampu Mengejarnya
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta Pusat, waktu seakan bergerak lebih lambat di Kwitang. Ruko-ruko tua berdiri berderet, menyimpan jejak masa ketika kawasan ini menjadi “surga perburuan buku” bagi pelajar, mahasiswa, hingga akademisi dari berbagai daerah.
Pada era 1980–2000-an, siapa pun yang mencari referensi unik, buku langka, atau bahan kuliah sulit didapat pasti akan “naik haji” ke Kwitang. Di sini, pembaca tidak hanya membeli buku—mereka membangun percakapan, membuka diskusi, dan merayakan ilmu dalam bentuk yang paling sederhana: obrolan antara penjual dan pencari pengetahuan.
Meski masa itu telah berlalu, aura literasi Kwitang tidak lenyap. Ia sekadar mengecil, namun tetap berdetak.
2. Dari Trotoar Berdebu ke Etalase Digital: Evolusi Tak Terhindarkan
Dulu, Kwitang identik dengan lapak-lapak yang menempel rapat di trotoar. Buku-buku tersusun dalam labirin kecil, aroma kertas bekas bercampur debu Jakarta, dan suara pedagang memanggil calon pembeli menciptakan atmosfer hidup yang sulit digantikan ruang digital mana pun.
Namun, zaman berubah. Pedagang mulai merasakan angin perubahan saat marketplace tumbuh agresif:
- harga lebih murah,
- pilihan lebih banyak,
- pencarian lebih cepat,
- promo kilat menarik generasi baru.
Bang Jay (54), pedagang buku sejak 1997, merangkum perubahan itu dalam satu kalimat sederhana:
“Sekarang pembeli banyak bandingin harga online. Mau beli online boleh, mau offline juga boleh.”
Baginya, online bukan musuh, melainkan “mata kail kedua” yang membantu menarik pembeli lebih banyak.
3. Relokasi Pedagang Mengubah Atmosfer, Tapi Tidak Menghapus Jiwanya
Ketika pemerintah merelokasi pedagang ke dalam ruko yang lebih tertata, banyak hal berubah. Trotoar yang dulu penuh interaksi kini berganti kios berlantai keramik. Pedagang tak lagi berjibaku dengan panas, hujan, atau bongkar lapak tiap hari.
Namun, perubahan ini menghilangkan sesuatu yang tak kasat mata: spontanitas dan kehangatan.
Tak ada lagi momen pedagang menutupi buku dengan terpal saat hujan, atau pembeli berteduh sambil berdiskusi tentang buku favorit. Kios kini lebih rapi, tetapi suasana lamanya tetap dirindukan.
Meski demikian, pedagang seperti Bang Jay yakin:
“Tidak ada yang hilang. Pasar Buku Kwitang tetap eksis.”
Menurutnya, Kwitang hanya berubah bentuk—bukan mati.
4. Pengunjung Menyusut, Interaksi Pindah ke WhatsApp dan Marketplace
Hal paling mencolok dari Kwitang hari ini adalah pola interaksi yang bergeser jauh.
Jika dulu pembeli datang, menyentuh buku satu per satu, dan berlama-lama memilih di depan rak, kini:
- pembeli lebih sering chat,
- mengirim foto sampul,
- menanyai stok,
- menawar lewat WA,
- bahkan menugaskan pedagang “mencarikan judul tertentu”.
Kwitang kini seperti layanan personal book shopper, tetapi dari kejauhan.
Bang Jay pun mengakui:
“Lebih banyak nanya di online sekarang.”
Keramaian fisik mungkin turun, tetapi interaksi digital meningkat—bentuk baru dari hidupnya Kwitang.
5. Tantangan Baru: E-Book, PDF Gratis, dan Akses Digital Tak Terbatas
Generasi mahasiswa yang dulu selalu memadati Kwitang kini bergerak ke arah baru: file digital.
Repositori kampus, e-book murah, bahkan PDF gratis membuat banyak orang tidak lagi merasa perlu membeli buku fisik. Hal ini menjadi tantangan yang “tidak terlihat”, tapi nyata menggerus penjualan.
Bang Jay bercerita tentang seorang mahasiswa yang membatalkan pembelian setelah tahu versi PDF-nya ada.
“Katanya sudah punya PDF. Itu mempengaruhi.”
Namun masih ada kategori yang tetap kuat:
- novel
- komik
- buku sejarah
Tiga jenis ini menjadi “nafas” baru Kwitang karena nilai estetik dan sentimentalnya tidak bisa digantikan layar digital.
6. Pertarungan Bukan Lagi Harga, Tapi Identitas Budaya Literasi
Yang dipertaruhkan di Kwitang bukan sekadar ekonomi, tetapi identitas literasi kota.
Kwitang pernah menjadi pusat pengetahuan informal—ruang pertemuan antara profesi, latar sosial, dan generasi. Nilai budaya inilah yang masih dijaga para pedagang.
Bang Jay berharap pemerintah melihat Kwitang bukan hanya sebagai area jual-beli, tetapi sebagai warisan budaya literasi.
“Buku itu aset pendidikan. Pemerintah harus peduli.”
Program revitalisasi dan dukungan literasi menurutnya dapat membantu mengembalikan Kwitang ke “peta publik”.
7. Kwitang Hidup dalam Nostalgia, Tapi Tetap Punya Peluang Masa Depan
Perbedaan persepsi generasi kini terlihat jelas. Mereka yang tumbuh pada era 1990–2000-an memiliki memori kuat tentang:
- polesan debu di jari,
- aroma halaman tua,
- sensasi menemukan buku langka,
- tawar-menawar intens dengan penjual.
Sedangkan generasi TikTok dan Instagram mengenal Kwitang sebagai bagian dari nostalgia kota—tempat yang lebih menarik sebagai konten, bukan kebutuhan belajar.
Namun, justru di situlah peluangnya.
Ketika nostalgia menjadi tren, Kwitang bisa menjadi:
- destinasi heritage,
- spot konten kreatif,
- pusat event literasi,
- ruang kurasi buku langka,
- titik temu komunitas.
Dengan strategi yang tepat, Kwitang bisa bangkit sebagai ikon literasi urban yang tidak sekadar menjual buku, tetapi menjual pengalaman.
Kesimpulan: Kwitang Tidak Mati—Ia Sedang Bertransformasi
Pasar Buku Kwitang kini berada di persimpangan antara masa lalu dan masa depan. Ia tidak seramai dulu, tetapi tidak pernah benar-benar sepi. Ia tidak lagi bising, tetapi tidak kehilangan denyutnya.
Bang Jay merangkumnya dengan kalimat yang penuh harap:
“Buku Kwitang itu masih ada, tetap eksis. Cuma memang tidak seramai dulu.”
Dan mungkin, itu bukan akhir. Dalam era ketika nostalgia, budaya, dan pengalaman kembali dihargai, Kwitang justru memiliki kesempatan kedua—menjadi ruang literasi yang lahir kembali dalam bentuk baru.