43 Pertanyaan untuk Lucky Hakim, Tapi Tak Ada Jawaban dari Kemendagri

43 Pertanyaan untuk Lucky Hakim, Tapi Tak Ada Jawaban dari Kemendagri

FYP Media.ID – Pada Selasa, 8 April 2025 – ​Drama politik di Indramayu belum juga mereda. Nama Lucky Hakim, yang dulu dikenal sebagai aktor dan kini menjabat sebagai Wakil Bupati Indramayu, kembali jadi buah bibir. Bukan karena prestasi, tapi karena tarik-ulur pengunduran dirinya yang belum juga menemui kejelasan. Meski secara terbuka ia sudah menyatakan ingin mundur sejak awal 2023, dan DPRD pun telah menindaklanjuti surat itu ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sampai sekarang belum ada sanksi atau keputusan resmi yang dijatuhkan. Pertanyaannya sederhana: kenapa proses ini begitu lama?

Lucky Hakim sendiri telah menjalani pemeriksaan panjang dari pihak Kemendagri. Ia dicecar sebanyak 43 pertanyaan yang membahas mulai dari alasan pribadi mundur, dinamika kerjanya dengan Bupati Nina Agustina, hingga bagaimana ia melihat perannya selama menjabat. Tapi setelah semua itu, hasilnya nihil. Tidak ada titik terang, tidak ada sanksi, tidak juga ada kejelasan apakah Lucky resmi diberhentikan atau tetap dianggap menjabat. Semua masih menggantung tanpa kepastian.

Di balik angka 43 pertanyaan itu, ada kelelahan publik yang tak bisa diabaikan. Warga Indramayu tentu berharap para pemimpin mereka fokus bekerja, bukan malah terseret drama yang tak kunjung usai. Lucky sendiri mengaku mundur karena merasa tak diberi ruang menjalankan tugasnya sebagai wakil. Ia mengibaratkan posisinya seperti “ban serep”—ada tapi jarang dipakai. Jika memang ada ketidakharmonisan di dalam, lalu kenapa harus berlarut-larut? Bukankah lebih baik jika Kemendagri bertindak cepat, demi menjaga stabilitas dan kepercayaan publik?

Baca Juga : Dampak Kebijakan Trump dan Geopolitik Terhadap Kenaikan Harga Emas 2025

Situasi ini memunculkan spekulasi liar. Apakah ada tarik-ulur politik di balik lambatnya keputusan? Apakah karena Lucky bukan berasal dari partai besar, jadi tak cukup kuat menekan jalannya proses? Di sisi lain, Bupati Nina Agustina diketahui memiliki dukungan politik yang cukup solid. Tapi apapun spekulasinya, publik hanya ingin satu hal: kepastian. Jangan sampai birokrasi negara terlihat ragu-ragu hanya karena kepentingan politik sempit.

Yang juga mengkhawatirkan, status Lucky Hakim secara administratif masih tercatat aktif. Padahal secara praktik, ia sudah lama tak menjalankan tugas-tugas sebagai wakil bupati. Ini tentu menciptakan ruang abu-abu dalam sistem pemerintahan daerah. Bagaimana mungkin sebuah jabatan penting bisa dibiarkan kosong begitu saja, tanpa kepastian hukum? Di tengah banyaknya pekerjaan rumah di daerah, satu jabatan strategis seperti ini seharusnya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dari sisi Kemendagri, mereka menyebut proses masih berjalan. Aspek administratif dan legal tengah ditelaah secara menyeluruh. Tapi penjelasan seperti itu rasanya sudah terlalu sering didengar. Masyarakat menunggu bukan hanya alasan, tapi tindakan nyata. Karena dalam setiap keputusan yang ditunda, ada kepercayaan publik yang ikut tergerus sedikit demi sedikit.

Baca Juga : Hasto Kristiyanto jadi Tersangka: Implikasi Hukum dan Dinamika Politik PDIP

Jika dibiarkan berlarut-larut, kasus ini bisa menjadi preseden buruk. Seolah-olah seorang pejabat publik bisa mundur sepihak, lalu statusnya dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Seolah mekanisme pemerintahan bisa dimandulkan oleh birokrasi panjang dan minim ketegasan. Padahal yang dibutuhkan saat ini justru adalah sistem yang tegas, transparan, dan berani mengambil keputusan.

Masyarakat Indramayu, dan bahkan publik secara nasional, tentu pantas bertanya: apakah jabatan publik hanya permainan politik? Apakah etika pemerintahan bisa dikompromikan dengan ketidaktegasan? Dalam dunia ideal, seorang pejabat yang mundur karena konflik internal harus segera diberi keputusan—baik berupa pemberhentian resmi atau sanksi administratif jika dianggap melanggar aturan. Bukannya dibiarkan menggantung tanpa arah.

Ironisnya, kasus seperti ini bukan yang pertama. Sudah banyak contoh pejabat yang mundur, tetapi proses administrasinya malah tersendat. Ini menandakan bahwa sistem kita masih jauh dari kata gesit. Padahal, untuk negara sebesar Indonesia, ketegasan dalam pemerintahan bukan pilihan—itu kebutuhan. Jika pusat saja tidak mampu memberi contoh baik, bagaimana bisa kita berharap daerah bekerja lebih profesional?

Lucky Hakim sendiri sempat menyatakan bahwa ia tidak menyesali keputusan untuk mundur. Bahkan, ia mengungkapkan kelegaan karena tidak harus lagi menjadi bagian dari sistem yang menurutnya tidak memberinya ruang untuk berkontribusi. Namun publik tetap bertanya, apakah seorang pejabat publik bisa dengan mudah keluar dari tanggung jawab begitu saja? Bukankah jabatan publik adalah amanah, bukan sekadar posisi?

Kini, keputusan ada di tangan Kemendagri. Apakah mereka akan terus bermain aman, atau akhirnya bertindak tegas dan memberi kejelasan kepada publik? Semua mata tertuju pada langkah mereka. Sebab nasib satu jabatan bukan sekadar soal satu orang, tapi menyangkut wibawa pemerintahan dan hak rakyat untuk dipimpin dengan pasti.

Lucky Hakim mungkin hanya satu nama. Tapi cerita di baliknya mencerminkan persoalan yang lebih besar. Tentang bagaimana birokrasi kita bekerja, tentang bagaimana kepentingan politik bisa membayangi proses administrasi, dan tentang bagaimana publik selalu menjadi pihak yang harus bersabar. Sampai kapan? Jawabannya ada di keputusan yang (seharusnya) sudah lama diambil.