FYPMEDIA.ID – Setiap manusia tidak bisa memilih ingin dilahirkan dengan jenis kelamin apa. Oleh karena itu, seharusnya setiap manusia dengan jenis kelami apapun memiliki hak yang sama. Namun, adanya perbedaan jenis kelamin dan gender justru memunculkan polemik tersendiri. Adanya ketimpangan gender membuat isu terkait kesetaraan gender masih terus diperjuangkan hingga saat ini. Meskipun sudah berbagai cara dilakukan, diskriminasi berbasis gender, seperti misogini, masih saja terus terjadi.
Apa itu misogini?
Misogini adalah ujaran kebencian atau prasangka negatif kepada perempuan. Hal ini sebagaimana istilah tersebut dalam bahasa Yunani berasal dari dua kata, yaitu misos berarti kebencian dan gunē berarti perempuan. Istilah ini dipopulerkan oleh para feminis gelombang kedua pada tahun 1970-an dan masih relevan hingga saat ini.
Misogini merupakan situasi di mana seseorang membenci perempuan bukan karena alasan-alasan yang spesifik, melainkan semata-mata karena perempuan itu sendiri yang menjadi sasaran kebencian. Ini berarti bahwa kebencian tersebut ditujukan kepada perempuan hanya karena mereka adalah perempuan, tanpa memperhitungkan karakteristik atau tindakan individu mereka. Bentuk kebenciannya pun beragama, dapat berupa permusuhan, penyerangan (verbal dan nonverbal), bahkan tindakan kekerasan. Bentuk-bentuk kebencian ini sering kali merupakan hasil dari norma sosial dan budaya yang telah mengakar dan mendorong pandangan merendahkan terhadap perempuan.
Pelaku misogini yang disebut juga dengan misoginis tidak hanya berasal dari jenis kelamin laki-laki saja, bahkan sesama perempuan pun dapat turut menjadi misoginis. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebencian terhadap perempuan tidak bergantung pada jenis kelamin pelaku, melainkan pada pandangan dan sikap yang telah terinternalisasi. Seseorang dapat menjadi seorang misoginis karena ia tumbuh dari lingkungan yang menganut budaya patriarki dan juga bisa karena dipengaruhi oleh masa lalu yang dialaminya.
Misogini menyerang atlet perempuan
Pandangan-pandangan negatif yang ditujukan kepada perempuan, membuat aktivitas dan peran perempuan di ruang publik cukup terbatas, termasuk di bidang olahraga. Bidang olahraga menjadi sektor yang cukup rentan bagi perempuan untuk mengalami tindakan misogini, terlebih jika ia adalah seorang atlet. Pandangan bahwa perempuan seharusnya menjadi seorang ibu dan mengurus keluarga, menganggap rendahnya kualitas perempuan dalam berkompetisi olahraga, serta adanya pengaruh budaya maskulinitas hegemonik, menjadi alasan kenapa atlet perempuan sering dianggap rendah.
Di Indonesia, tindakan yang seakan merendahkan perempuan pernah didapatkan oleh atlet bulu tangkis tunggal putri, yaitu Gregoria Mariska Tunjung. Gregoria berhasil mendapatkan medali perak di Olimpiade Paris 2024 lalu. Alih-alih mendapatkan pujian, pencapaian Gregoria yang membanggakan ini tidak lepas dari penilaian negatif yang menganggap bahwa ia mendapatkan medali secara cuma-cuma. Tidak sedikit kolom komentar bahkan salah satu stasiun televisi swasta yang menyebutkan bahwa Gregoria mendapatkan “medali giveaway pertama”. Meskipun sudah ada permintaan maaf resmi, hal tersebut tetap menunjukkan bahwa atlet perempuan masih kerap dipandang sebelah mata hingga kini.
Tidak hanya Gregoria Mariska Tunjung, yang juga mengalami tantangan dan kontroversi di dunia olahraga, tetapi juga ada atlet lainnya yang menghadapi situasi serupa. Salah satunya adalah Imane Khelif, seorang petinju asal Aljazair. Imane Khelif menghadapi situasi yang sangat kompleks dan penuh tantangan karena kondisi fisiknya yang berbeda dari kebanyakan perempuan pada umumnya. Ia memiliki kelainan pada tubuhnya yang menyebabkan penampilannya berbeda dari norma feminin tradisional. Hal ini memicu diskriminasi dan misogini, dengan beberapa orang secara keliru menganggapnya sebagai seorang transgender. Diskriminasi semacam ini menunjukkan betapa sulitnya diterima dan dihargai bagi individu yang memiliki perbedaan fisik atau biologis yang tidak sesuai dengan ekspektasi gender konvensional.
Di sisi lain, An San, seorang atlet panahan asal Korea Selatan, juga mengalami situasi yang tidak menyenangkan terkait dengan penampilannya. An San menghadapi kritik dan penilaian negatif dari kelompok tertentu karena gaya atau penampilannya dianggap tidak sesuai dengan norma budaya atau harapan sosial yang berlaku di lingkungan tersebut dan dipaksa untuk meminta maaf. Kedua kasus ini menyoroti bagaimana baik gender maupun penampilan bisa menjadi sumber konflik dan tantangan besar bagi atlet perempuan di berbagai belahan dunia.
Masyarakat cenderung mencari celah untuk mendapatkan kesalah seseorang dibandingkan menghargai perjuangan para atlet yang telah berjuang dan mendapatkan medali di ajang olimpiade. Bahkan terkadang media masih suka ikut serta dalam membesar-besarkan permasalahan atlet dengan judul yang mengarah ke misogini. Hal ini memang bukan perkara yang mudah untuk dihilangkan begitu saja. Terlebih budaya patriarki dan maskulinitas masih mengakar dalam masyarakat, yang mana menyebabkan adanya standar ganda gender yang beranggapan bahwa atlet laki-laki lebih baik, lebih kuat, lebih bisa diandalkan daripada atlet perempuan.