Kasus Virus Marburg Bertambah Jadi 46 Kasus, Rwanda Mulai Lakukan Vaksinasi Marburg

Rwanda lakukan vaksinasi untuk menghentikan virus marburg

FYPMEDIA.ID – Belum selesai dengan penyebaran virus Monkeypox (Mpox), kini Afrika juga dilanda dengan virus Marburg. Penyebaran virus Marburg dikonfirmasi pada 27 September lalu oleh Kementerian Kesehatan Republik Rwanda dan ini pertama kalinya virus tersebut berada di negara tersbut. Namun, sumber penyebaran virus tersebut masih belum diketahui secara pasti.

Hingga Minggu (06/10/2024), dilaporkan 12 orang meninggal dunia akibat Virus Marburg sejak awal kemunculannya. Pemerintah menyebutkan terdapat 46 kasus yang dikonfirmasi, dengan 29 orang lainnya masih menjalani isolasi. Sementara, setidaknya terdapat 400 orang yang melakukan kontak langsung dengan kasus virus yang dikonfirmasi. Kemudian WHO menyebutkan dari kasus yang terkonfirmasi, 70% kasus terjadi pada petugas kesehatan dari 2 fasilitas kesehatan di Kigali, ibu kota Rwanda.

Menanggapi kasus tersebut, Kementerian Kesehatan Rwanda langsung mengambil langkah dengan meminta masyarakat untuk tetap waspada dan melakukan langkah-langkah pencegahan, seperti menjaga kebersihan, mencuci tangan dengan sabun, dan menghindari kontak langsung dengan para terinfeksi. Kementerian Kesehatan negara tersebut juga membatasi kunjungan ke pasien di rumah sakit selama 14 hari kedepan serta pasien hanya boleh dirawat atau didampingi oleh satu pengasuh saja. Selain itu, prosesi pemakaman untuk orang yang terinfeksi juga hanya diperbolehkan dihadiri oleh 50 orang saja.

 

Apa itu virus Marburg?

Virus Marburg (Marburg Virus Disease/MVD) merupakan virus yang disebabkan oleh virus Marburg yang merupakan bagian dari famili filovirus dan masih satu famili dengan virus Ebola. Akan tetapi virus ini dianggap lebih berbahaya jika dibandingkan dengan virus Ebola. WHO mengatakan tingkat kematian yang diakibatkan virus Marburg mencapai 24% hingga 88%, yang mana rata-rata menyebabkan kematian sebanyak setengah dari semua orang yang terjangkit virus ini.

Sesuai dengan namanya, Virus Marburg diidentifikasi pertama kali di Marburg, Jerman pada tahun 1967. Selain menyebar di Marburg, virus ini juga menyebar di kota Frankfurt. Pada tahun yang sama, virus ini juga diidentifikasi di Belgrade, Serbia. Penyebaran wabah tersebut diduga berkaitan dengan pekerjaan laboratorium yang menggunakan monyet hijau Afrika (Cercopithecus aethiops) yang diimpor dari Uganda.

Sebelum menyebar di Rwanda, virus Marburg juga pernah mewabah di beberapa negara di Afrika. Guinea menjadi negara pertama di Afrika Barat yang terjangkit wabah virus Marburg pada tahun 2021 dengan menyebabkan 1 orang meninggal. Kemudian pada tahun 2022, virus ini muncul pertama kali di Ghana dan menyebabkan 2 orang meninggal dari 3 kasus yang ada. Selanjutnya pada tahun 2023, wabah ini berada di Tanzania dan Guinea Ekuatorial. Di Tanzania terdapat 1 kasus probable dan 8 kasus terkonfirmasi, dengan 5 diantaranya mengakibatkan kematian. Sedangkan di Guinea Ekuatorial dilaporkan terdapat 17 kasus terkonfirmasi dan 23 kasus probable. Dilaporkan 12 dari 17 kasus yang terkonfirmasi meninggal dunia dan 23 kasus probable yang terkonfirmasi juga meninggal dunia.

 

Penyebaran virus Marburg

Menurut World Health Organization (WHO) pembawa virus ini adalah hewan kelelawar yang berasal dari Afrika, yaitu Rousettus aegyptiacus atau kelelawar buah yang berasal dari famili Pteropodidae. Di Afrika, penyebaran ini sering ditemukan di tambang dan gua yang dihuni oleh kelelawar Rousettus. Setelah seseorang berada di tambang dan gua yang dihuni oleh kelelawar tersebut dalam jangka waktu panjang, dapat memungkin terjadinya penyebaran virus dari hewan ke manusia.

Setelah seseorang tertular virus dari hewan, ia dapat menularkannya ke orang lain melalui kontak langsung dengan cairan tubuh, kulit yang terluka atau selaput lendir, ASI, dan darah. Bahkan barang-barang yang terkontaminasi cairan tubuh, seperti seprai, pakaian, atau peralatan medis juga bisa menjadi perantara virus. Namun, menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), virus Marburg tidak dapat menyebar melalui udara.

 

Gejala virus Marburg

Setelah seseorang terpapar virus Marburg, umumnya tidak akan langsung merasakan gejala-gejala dari virus ini. WHO menuturkan perlu waktu antara 2 hingga 21 hari hingga gejalanya muncul, menurut WHO.

Reaksi muncul seseorang terpapar virus ini dimulai dengan demam tinggi, sakit kepala berlebihan, dan malaise parah. Kemudian pada hari ketiga, seseorang akan mengalami diare parah, nyeri, kram perut, mual, muntah, dan ruam di tubuh tanpa rasa gatal. Pada hari kelima dan seterusnya, orang terinfeksi dapat menyebabkan pendarahan masif, syok, hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, penurunan kesadaran, hingga disfungsi multi organ.

 

Vaksinasi Marburg sudah dimulai

Ketika virus Marburg pertama kali mewabah di Rwanda, masih belum ada vaksin atau pengobatan yang disetujui untuk virus tersebut. Bahkan saat itu, Menteri Kesehatan Rwanda, Sabin Nsanzimana, menjelaskan bahwa negaranya sedang berusaha mengembangkan vaksin untuk membantu menghentikan penyebaran virus tersebut.

WHO menjelaskan beberapa kandidat vaksin sedang diproduksi. Ini termasuk vaksin yang dikembangkan oleh International AIDS Vaccine Initiative (IAVI) dan oleh Sabin Vaccine Institute yang mengatakan pihaknya bekerja sama dengan pemerintah Rwanda. Bahkan Tim di Universitas Oxford yang merumuskan vaksin AstraZeneca untuk COVID-19 turun tangan untuk membuat vaksin dengan memulai uji coba kandidat vaksin Marburg dengan  menggunakan teknologi serupa dengan vaksin COVID.

Saat ini Rwanda sudah mulai memberikan dosis vaksin terhadap virus Marburg sejak vaksin ini tiba pada Minggu (06/10/2024). 700 dosis vaksin telah diterima Rwanda dari Sabin Vaccine Institute, sebuah organisasi nirlaba yang berpusat di AS.

“Vaksinasi akan segera dimulai hari ini,” kata Menteri Kesehatan Sabin Nsanzimana dalam konferensi pers pada hari Minggu di ibu kota, Kigali, dikutip dari Reuters.

Untuk saat ini vaksinasi awal masih difokuskan untuk golongan yang paling berisiko, seperti petugas kesehatan di pusat perawatan, rumah sakit, ICU, UGD, dan masyarakat yang pernah melakukan kontak dengan pasien Marburg.

Sabin Nsanzimana juga menjelaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir mengenai penyebaran virus ini. Karena saat ini Rwanda telah memiliki vaksin yang sudah digunakan sebelumnya di Kenya dan Uganda.

“Kami yakin bahwa dengan vaksin, kami memiliki alat yang ampuh untuk menghentikan penyebaran virus ini,” Jelas menteri tersebut.