FYPMEDIA.ID – Di era digital yang serba terhubung, istilah FOMO (Fear of Missing Out) telah lama menjadi bagian dari kosakata populer. FOMO menggambarkan perasaan cemas atau takut ketinggalan momen atau pengalaman tertentu, terutama yang terjadi di media sosial. Namun, belakangan ini, muncul sebuah istilah baru yang menjadi antitesis dari FOMO, yaitu JOMO (Joy of Missing Out). Istilah ini semakin populer seiring dengan tren kehidupan yang lebih mindful dan berfokus pada kesejahteraan pribadi.
- Apa Itu JOMO?
JOMO merujuk pada perasaan bahagia atau puas dengan memilih untuk tidak terlibat dalam berbagai aktivitas sosial atau peristiwa yang ramai, khususnya yang sering kali tampak di media sosial. Jika FOMO mencerminkan ketakutan akan kehilangan kesempatan untuk bersenang-senang, berinteraksi, atau berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang tren, JOMO justru menekankan kebahagiaan yang ditemukan dalam memilih untuk tidak ikut serta, menikmati ketenangan, serta memilih waktu untuk diri sendiri.
Dalam budaya yang sering kali menilai keberhasilan seseorang berdasarkan seberapa banyak mereka terlibat dalam kegiatan sosial, JOMO menjadi semacam perlawanan terhadap tekanan tersebut. Ia mengajak orang untuk menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kehadiran di acara sosial atau mengikuti arus yang ada. Sebaliknya, kebahagiaan dapat ditemukan dalam kesendirian, waktu berkualitas bersama keluarga, atau sekadar menikmati hobi dan kegiatan yang tidak melibatkan banyak orang.
- Latar Belakang Munculnya JOMO
Munculnya JOMO tidak terlepas dari dinamika sosial dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat modern, khususnya dalam menghadapi kemajuan teknologi dan media sosial. Dengan adanya berbagai platform sosial, kita sering kali merasa harus selalu aktif, tampil sempurna, dan menunjukkan eksistensi dalam setiap momen. Media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan Twitter, membuat orang cenderung membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih “ideal” dan lebih seru.
Namun, tidak sedikit orang yang merasa lelah dan tertekan oleh tuntutan untuk selalu terhubung dan mengikuti apa yang sedang “viral” atau populer. Inilah yang kemudian melahirkan JOMO sebagai bentuk kebalikan dari FOMO. Banyak orang mulai menyadari bahwa memilih untuk tidak terlibat dalam keramaian atau bahkan menonaktifkan diri sejenak dari media sosial dapat memberikan ruang untuk istirahat mental dan emosional yang sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Perubahan Cuaca di Bulan November 2024: Antisipasi Dampak Cuaca Ekstrem di Indonesia – FYP Media
- JOMO dan Kesejahteraan Mental
Salah satu alasan utama mengapa JOMO semakin digemari adalah karena kaitannya dengan kesejahteraan mental. Terlalu sering terpapar pada perbandingan sosial di media sosial atau merasa tertekan untuk selalu tampil aktif dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Kondisi ini sering kali menimbulkan perasaan cemas, stres, dan bahkan depresi.
JOMO mengajak kita untuk beristirahat dari tekanan tersebut dan menikmati waktu yang lebih tenang dan fokus pada diri sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep self-care yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini, akhir-akhir ini seseorang diberikan kebebasan untuk merawat dirinya sendiri tanpa harus merasa bersalah karena memilih untuk tidak terlibat dalam perayaan atau aktivitas sosial yang tidak membawa kebahagiaan sejati.
Melalui JOMO, seseorang bisa lebih menghargai momen sederhana, seperti bersantai di rumah, membaca buku, menikmati waktu dengan keluarga, atau mengejar hobi yang selama ini terabaikan. Alih-alih merasakan kekosongan atau kesepian karena tidak ikut dalam kegiatan sosial, JOMO justru menawarkan rasa puas dan kebahagiaan dalam memilih kebebasan untuk tidak terhubung.
- JOMO dalam Praktik Sehari-hari
Bagi mereka yang ingin merasakan manfaat JOMO, ada beberapa langkah sederhana yang bisa diambil untuk mengintegrasikan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari.
- Mengurangi Penggunaan Media Sosial
Salah satu cara paling efektif untuk merasakan JOMO adalah dengan membatasi penggunaan media sosial. Hal Ini bukan berarti harus berhenti total, melainkan mencoba untuk tidak terjebak dalam perasaan harus selalu update dengan setiap postingan atau acara. Cobalah untuk menetapkan waktu tertentu untuk mengecek media sosial, dan selebihnya gunakan waktu untuk aktivitas lain yang lebih memberi manfaat.
- Prioritaskan Waktu untuk Diri Sendiri
JOMO mengajak kita untuk memberi prioritas pada kebutuhan pribadi. Hal ini bisa berupa waktu untuk beristirahat, berolahraga, atau sekadar menikmati ketenangan. Luangkan waktu untuk diri sendiri tanpa merasa harus memenuhi ekspektasi sosial.
- Bertemu dengan Orang-orang yang Memberikan Ketenangan
Alih-alih terlibat dalam keramaian atau acara yang terasa memaksakan, pilihlah untuk bertemu dengan teman atau keluarga yang memberi energi positif. Kegiatan bersama orang-orang yang membuat kita merasa nyaman dan dihargai lebih memberi kepuasan dibandingkan dengan mengikuti pergaulan yang tidak memberi kebahagiaan sejati.
- Nikmati Aktivitas yang Memberi Ketenangan
JOMO mendorong kita untuk melakukan kegiatan yang menenangkan, seperti meditasi, berjalan-jalan di alam terbuka, atau melakukan hobi yang selama ini mungkin tertunda. Aktivitas semacam ini membantu mengurangi stres dan memberikan kebahagiaan tanpa harus terlibat dalam keramaian.
Baca Juga: Hari Kesehatan Nasional 2024: Meningkatkan Kualitas Hidup Melalui Kesehatan yang Merata – FYP Media
JOMO adalah suatu gaya hidup yang mengajarkan kita untuk menghargai dan menikmati momen-momen sederhana dalam hidup tanpa tertekan oleh tuntutan sosial atau perasaan takut ketinggalan. Di tengah arus kehidupan yang semakin cepat dan penuh tekanan, JOMO memberikan ruang bagi kita untuk berhenti sejenak, meresapi kebahagiaan dalam kesendirian, dan menikmati waktu untuk diri sendiri. Dengan mengadopsi prinsip ini, kita bisa menemukan kebahagiaan yang lebih autentik dan sehat, jauh dari kecemasan akan kehilangan sesuatu yang belum tentu memberi kebahagiaan sejati.