Harga Emas Dunia Tertahan Meski Ketegangan Perdagangan Meningkat

Harga Emas Dunia Tertahan Meski Ketegangan Perdagangan Meningkat

FYPMedia. ID – Harga emas dunia memangkas sebagian kenaikannya pada perdagangan Selasa waktu setempat (Rabu, 9 April 2025 waktu Jakarta). Hal ini terjadi di tengah tekanan dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), yang menjadi faktor utama penghambat reli harga logam mulia tersebut. Padahal, sejumlah faktor lain seperti pelemahan dolar AS serta meningkatnya ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia, yaitu AS dan Tiongkok, sempat memberikan angin segar bagi pasar emas.

 

Mengutip laporan dari CNBC, harga emas di pasar spot sempat melonjak hingga 1,3% pada awal sesi perdagangan. Namun, penguatan tersebut tidak bertahan lama. Harga emas akhirnya ditutup naik tipis 0,1% ke level USD 2.984,16 per ons. Sementara itu, harga emas berjangka AS tercatat naik 0,5% dan ditutup di posisi USD 2.990,20 per ons.

 

Analis menyebutkan bahwa kondisi pasar saat ini masih sangat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi makro, terutama yang berkaitan dengan arah kebijakan moneter AS. Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS menandakan bahwa investor mengantisipasi kebijakan suku bunga yang lebih tinggi atau bertahan di level tinggi dalam waktu yang lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Hal ini membuat instrumen investasi yang tidak memberikan bunga, seperti emas, menjadi kurang menarik.

 

Daya Tarik Emas sebagai Aset Safe Haven

Meski demikian, ketegangan perdagangan global dan pelemahan nilai tukar dolar AS masih menjadi dua faktor pendukung utama harga emas dalam jangka pendek. Ketika ketidakpastian global meningkat—baik karena konflik geopolitik, risiko perlambatan ekonomi, ataupun friksi perdagangan—investor cenderung mencari perlindungan di aset safe haven seperti emas.

 

Ketegangan terbaru antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali mencuat setelah kedua negara saling melontarkan kritik terkait kebijakan industri dan tarif ekspor-impor. Ketegangan ini memunculkan kekhawatiran akan dampak lanjutan terhadap pertumbuhan ekonomi global, serta mendorong investor untuk melirik aset yang dinilai lebih stabil.

 

“Ketika ketidakpastian meningkat, emas akan selalu memiliki daya tarik tersendiri,” ujar David Meger, Direktur Perdagangan Logam di High Ridge Futures. “Namun dalam waktu dekat, pergerakan emas akan sangat sensitif terhadap arah suku bunga dan data inflasi AS.”

 

Faktor Dolar dan Imbal Hasil Obligasi

Selain ketegangan geopolitik, nilai tukar dolar AS juga menjadi sorotan. Dalam beberapa pekan terakhir, dolar AS cenderung mengalami pelemahan terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Dolar yang lebih lemah cenderung membuat emas lebih murah bagi pemegang mata uang lain, sehingga permintaan terhadap emas bisa meningkat.

 

Namun, penguatan imbal hasil obligasi AS justru memberikan tekanan berlawanan. Ketika yield obligasi naik, investor cenderung beralih dari aset yang tidak memberikan pendapatan tetap seperti emas ke instrumen pendapatan tetap yang lebih menguntungkan.

 

Kondisi inilah yang membuat harga emas belum mampu mencatatkan kenaikan signifikan meskipun terdapat sentimen positif dari sisi geopolitik dan nilai tukar.

 

Outlook Emas dalam Jangka Pendek

Ke depan, pergerakan harga emas diperkirakan masih akan sangat bergantung pada data-data ekonomi dari Amerika Serikat, terutama data inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta kebijakan The Federal Reserve. Jika data inflasi tetap tinggi, The Fed kemungkinan akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, yang bisa menjadi tekanan bagi pasar emas. Sebaliknya, jika ada tanda-tanda pelonggaran, emas berpotensi kembali menguat.

 

Beberapa pelaku pasar juga mencermati perkembangan di Timur Tengah dan Eropa Timur yang dapat menambah risiko geopolitik global. Jika konflik semakin membesar, maka permintaan terhadap emas sebagai aset lindung nilai (hedging asset) kemungkinan akan meningkat.

 

“Selama ketegangan perdagangan dan geopolitik terus berlangsung, harga emas masih memiliki ruang untuk naik. Tapi investor harus tetap waspada terhadap sinyal dari bank sentral,” kata analis dari Kitco Metals dalam catatannya.

 

Permintaan Fisik Emas Masih Kuat

Dari sisi permintaan fisik, negara-negara seperti Tiongkok dan India masih menjadi konsumen utama emas dunia, baik untuk keperluan investasi maupun perhiasan. Di Tiongkok, permintaan emas tetap stabil di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi domestik. Bank Sentral Tiongkok bahkan tercatat terus menambah cadangan emasnya sebagai bagian dari strategi diversifikasi cadangan devisa.

 

Hal serupa juga terjadi di India, di mana musim perayaan dan pernikahan mendorong permintaan emas fisik, meskipun harga berada di dekat level tertinggi dalam sejarah. Permintaan dari sektor ritel ini menjadi salah satu pendorong kuat yang menopang pasar emas, terutama ketika permintaan dari pasar keuangan melemah.

 

 

Namun, investasi emas juga bukan tanpa risiko. Harga emas sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga, nilai tukar dolar AS, serta faktor teknikal lainnya. Oleh karena itu, pemahaman pasar dan manajemen risiko menjadi sangat penting bagi siapa pun yang ingin berinvestasi di sektor ini.

 

Prospek Jangka Panjang

Secara historis, emas telah terbukti menjadi penyimpan nilai (store of value) dalam jangka panjang. Sejak dulu, logam mulia ini dipandang sebagai simbol kekayaan dan perlindungan terhadap ketidakpastian ekonomi. Bahkan dalam era digital saat ini, di mana aset kripto mulai diperhitungkan sebagai alternatif investasi, emas masih memegang peran penting dalam stabilitas portofolio.

 

Dalam jangka panjang, beberapa analis optimistis bahwa harga emas masih memiliki ruang untuk naik, terutama jika ketegangan geopolitik terus berlangsung dan inflasi tetap tinggi. Namun, kenaikan tersebut mungkin tidak akan berlangsung secara linear dan bisa diselingi dengan koreksi jangka pendek.

 

Di tengah berbagai dinamika ekonomi dan politik global, harga emas tetap menunjukkan ketahanannya sebagai salah satu aset pilihan investor. Walau kenaikan imbal hasil obligasi memberikan tekanan dalam jangka pendek, kekhawatiran akan ketegangan perdagangan serta ketidakpastian ekonomi global akan terus menjadi faktor pendukung utama.

 

Dengan demikian, baik investor ritel maupun institusional perlu terus memantau perkembangan global dan melakukan evaluasi berkala terhadap strategi investasi masing-masing.