FYPMedia. ID – Sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta memutuskan untuk meliburkan mahasiswa mereka pada hari ini, Selasa (18/3), guna memberi kesempatan bagi mereka yang ingin bergabung dalam aksi menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan kebangkitan kembali dwifungsi TNI.
Aksi yang diprakarsai oleh berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa ini berfokus pada penolakan terhadap revisi yang dinilai berpotensi membawa Indonesia kembali ke masa lalu, di mana militer memiliki peran dominan dalam kehidupan sipil. Sejumlah pihak menilai bahwa revisi UU TNI bisa membuka kembali peluang bagi TNI untuk berkiprah dalam ranah sipil, sesuatu yang sudah dihapuskan sejak reformasi 1998.
Dukungan dari Akademisi
Dalam rangka mendukung kebebasan berpendapat dan partisipasi aktif mahasiswa dalam isu-isu kebangsaan, beberapa dosen UGM memilih untuk meliburkan kelas mereka. Menurut para akademisi ini, kampus harus menjadi ruang demokrasi yang memungkinkan mahasiswa untuk menyuarakan pandangan mereka terhadap kebijakan yang dianggap berpotensi merugikan demokrasi.
“Mahasiswa adalah agen perubahan. Mereka harus memiliki kebebasan untuk menyuarakan pendapat dan melakukan aksi yang bertujuan untuk menjaga nilai-nilai demokrasi,” ujar salah satu dosen UGM yang enggan disebutkan namanya.
Menurutnya, pelibatan TNI dalam ranah sipil berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil yang selama ini diperjuangkan pascareformasi. “Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi kita. Oleh karena itu, penting bagi akademisi dan mahasiswa untuk bersuara,” tambahnya.
Respon Mahasiswa
Keputusan untuk meliburkan perkuliahan disambut positif oleh mahasiswa UGM. Banyak dari mereka melihat ini sebagai bentuk dukungan dari civitas akademika terhadap perjuangan mereka dalam mengawal demokrasi.
Andi, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, mengungkapkan bahwa kehadiran akademisi dalam aksi seperti ini memberikan semangat lebih bagi mahasiswa.
“Kami mengapresiasi para dosen yang memberi kami ruang untuk ikut serta dalam aksi ini. Ini menunjukkan bahwa UGM tetap menjaga tradisi intelektual yang kritis terhadap kebijakan publik,” ujarnya.
Di sisi lain, beberapa mahasiswa yang tidak ikut dalam aksi tetap mendukung gerakan ini dengan menyebarkan informasi dan melakukan diskusi di lingkungan kampus.
“Saya tidak bisa ikut turun ke jalan, tetapi saya membantu dengan membuat konten edukasi di media sosial agar lebih banyak orang memahami isu ini,” kata Rina, mahasiswa jurusan Hukum UGM.
Protes yang Meluas
Tidak hanya di Yogyakarta, aksi penolakan terhadap revisi UU TNI juga terjadi di berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Di berbagai daerah, mahasiswa dan aktivis menggelar demonstrasi damai di depan gedung DPRD dan kantor pemerintahan.
Para pengunjuk rasa menilai bahwa revisi ini berisiko membuka kembali ruang bagi militer untuk berperan di sektor-sektor sipil, seperti pemerintahan daerah dan birokrasi. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang berupaya membatasi peran TNI di luar fungsi pertahanan dan keamanan negara.
“Kami tidak ingin sejarah kelam Orde Baru terulang. Reformasi sudah jelas mengamanatkan supremasi sipil, dan kami tidak akan tinggal diam jika revisi ini disahkan,” ujar salah satu orator dalam aksi di Jakarta.
Beberapa organisasi masyarakat sipil, seperti Kontras dan Imparsial, juga turut menyuarakan kekhawatiran serupa. Mereka menilai bahwa revisi ini dapat mengaburkan batas antara militer dan sipil, yang seharusnya tetap dipisahkan untuk menjaga keseimbangan demokrasi.
Sikap Pemerintah dan TNI
Hingga saat ini, pemerintah dan pihak TNI belum memberikan tanggapan resmi terhadap aksi penolakan ini. Namun, sebelumnya, sejumlah pejabat negara menyatakan bahwa revisi UU TNI bertujuan untuk memperkuat peran TNI dalam menjaga keamanan nasional, terutama dalam menghadapi ancaman non-militer seperti terorisme dan bencana alam.
Namun, para pengkritik berpendapat bahwa alasan tersebut tidak cukup kuat untuk membenarkan pelibatan TNI dalam urusan sipil. Mereka menegaskan bahwa lembaga-lembaga sipil, seperti Kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk menangani berbagai tantangan keamanan domestik tanpa perlu keterlibatan langsung dari militer.
“Saat ini, kita memiliki sistem demokrasi yang sudah berjalan dengan baik. Jika revisi ini disahkan, maka kita akan mundur ke belakang,” kata seorang pengamat politik dari UGM.
Kesimpulan
Dukungan akademisi UGM terhadap aksi penolakan revisi UU TNI menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kebijakan ini tidak hanya datang dari aktivis atau organisasi masyarakat sipil, tetapi juga dari lingkungan akademik. Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa demokrasi di Indonesia masih memiliki banyak pihak yang siap menjaga prinsip-prinsip kebebasan dan supremasi sipil.
Aksi yang berlangsung hari ini diperkirakan akan terus mendapat perhatian publik, mengingat isu revisi UU TNI menjadi salah satu perdebatan politik paling panas di tahun 2025. Dengan meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil dan akademisi, pemerintah kemungkinan akan menghadapi tantangan besar dalam mendorong revisi ini ke tahap legislasi.
Sejauh ini, mahasiswa dan dosen yang turun ke jalan menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal isu ini hingga ada kepastian bahwa revisi UU TNI tidak akan mengembalikan peran militer dalam kehidupan sipil. Demonstrasi ini juga menjadi bukti bahwa kampus masih memiliki peran penting sebagai garda depan dalam menjaga demokrasi Indonesia.