FYPMedia.ID – Parlemen Irak mengesahkan tiga undang-undang kontroversial pada Selasa, 21 Januari 2025. Salah satunya adalah amandemen Undang-Undang Status Pribadi yang memungkinkan anak-anak perempuan menikah di usia di bawah 15 tahun.
Langkah ini memicu kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk aktivis HAM dan oposisi politik. Mereka menilai perubahan ini setara dengan melegalkan anak untuk menikah dan mencabut hak-hak dasar perempuan serta anak-anak.
Kantor berita Shafaq melaporkan bahwa undang-undang baru tersebut memberi kewenangan kepada ulama untuk menentukan hukum keluarga, termasuk pernikahan, perceraian, dan hak asuh anak, berdasarkan interpretasi hukum Islam.
Beberapa interpretasi dalam mazhab Ja’fari, yang dianut mayoritas otoritas Syiah di Irak, bahkan mengizinkan pernikahan anak perempuan di usia sembilan tahun.
Kritik Aktivis UU Perempuan Menikah di Bawah 15 Tahun
Aktivis HAM mengecam langkah ini karena dianggap melanggar perlindungan perempuan dan anak yang telah diatur dalam Undang-Undang Status Pribadi Irak tahun 1959.
Baca juga: Penyebab Angka Pernikahan di Indonesia Turun Drastis Karena Toxic People dan Egoisme.
“Kita telah mencapai akhir dari hak-hak perempuan dan anak di Irak,” ujar Mohammed Juma, seorang pengacara yang menjadi salah satu penentang utama amandemen tersebut.
Intisar Al-Mayali, anggota Liga Perempuan Irak, menambahkan bahwa pengesahan ini akan meninggalkan dampak buruk bagi perempuan.
“Menikah di umur yang masih dini melanggar hak anak untuk menjalani masa kecil mereka. Selain itu, ini juga mengganggu mekanisme perlindungan bagi perempuan dalam kasus perceraian, hak asuh, dan warisan,” ungkapnya.
Survei PBB tahun 2023 menunjukkan bahwa pernikahan anak masih menjadi masalah besar di Irak, dengan 28 persen anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun.
Banyak di antara mereka yang terjebak dalam pernikahan dini karena faktor kemiskinan, meskipun sering kali berakhir dengan kegagalan yang membawa konsekuensi sosial dan pendidikan.
Dukungan dan Alasan Parlemen
Di sisi lain, para pendukung perubahan ini, yang sebagian besar berasal dari kelompok Syiah konservatif, berpendapat bahwa amandemen ini menyelaraskan hukum dengan nilai-nilai Islam sekaligus mengurangi pengaruh budaya Barat di Irak.
Ketua Parlemen Irak Mahmoud Al-Mashhadani menyebut langkah ini sebagai upaya penting dalam meningkatkan keadilan dan pengorganisasian kehidupan warga negara. Namun, kritik tajam muncul terhadap proses pengambilan keputusan di parlemen.
Baca juga: Prabowo Pangkas Anggaran Rp306,69 Triliun untuk Efisiensi APBN 2025
Anggota parlemen independen, Saad Al-Toubi, menyebut sidang tersebut sebagai tindakan ilegal karena separuh anggota yang hadir tidak memberikan suara, sehingga melanggar kuorum hukum. Sidang bahkan sempat ricuh dengan protes keras dari beberapa anggota parlemen.
UU Amnesti Umum dan Restitusi Tanah
Selain undang-undang pernikahan anak, parlemen juga meloloskan dua undang-undang lainnya, yaitu UU amnesti umum dan UU restitusi tanah.
UU amnesti umum dianggap menguntungkan tahanan Sunni, tetapi oposisi khawatir ini bisa dimanfaatkan untuk membebaskan individu yang terlibat kasus korupsi dan penggelapan.
Sementara itu, UU restitusi tanah bertujuan menyelesaikan sengketa teritorial, terutama di wilayah yang dihuni suku Kurdi.
Langkah kontroversial ini menempatkan Irak di persimpangan jalan antara mempertahankan tradisi agama dan menjamin hak asasi manusia.
Para aktivis menyerukan perhatian internasional terhadap dampak undang-undang tersebut, terutama pada hak-hak perempuan dan anak-anak.