3 Kandidat Kuat Pengganti Paus Fransiskus Menjelang Conclave 7 Mei

3 Kandidat Kuat Pengganti Paus Fransiskus Menjelang Conclave 7 Mei

FYP Media.id – Pada Selasa, 29 April 2025  – Gema lonceng perubahan mulai terdengar di Vatikan. Menjelang 7 Mei mendatang, Conclave—forum rahasia pemilihan pemimpin tertinggi umat Katolik dunia—semakin dekat. Kabar tentang siapa sosok yang akan menggantikan mendiang Paus Fransiskus pun mulai menjadi perbincangan hangat di berbagai belahan dunia.

Meskipun belum ada kepastian siapa yang akan menduduki Takhta Suci berikutnya, sejumlah nama telah mencuat sebagai calon kuat. Para kandidat berasal dari berbagai benua—Eropa, Asia, hingga Afrika—yang mencerminkan semakin luasnya jangkauan dan pengaruh Gereja Katolik di dunia modern.

Namun, seperti yang pernah terjadi pada pemilihan tahun 2013 lalu, nama-nama yang diunggulkan belum tentu keluar sebagai pemenang. Saat itu, banyak pihak meyakini Kardinal Angelo Scola dari Milan akan terpilih. Bahkan, seorang pejabat senior gereja Italia sempat merayakan “kemenangan” Scola saat asap putih muncul dari cerobong. Kenyataannya, justru Kardinal Jorge Bergoglio dari Argentina yang akhirnya menjadi Paus Fransiskus.

Baca juga: 5 Alasan Film Conclave Wajib Ditonton Kembali di Bioskop Tahun Ini

Lalu, siapa saja sosok yang kini disebut-sebut sebagai kandidat terkuat?

  1. Kardinal Pietro Parolin – Diplomat Ulung dari Italia

Nama Kardinal Pietro Parolin menjadi salah satu yang paling banyak disebut. Ia bukan sosok baru di Vatikan—sejak 2013, ia menjabat sebagai Sekretaris Negara Takhta Suci, posisi tertinggi kedua setelah Paus.

Parolin dikenal sebagai sosok yang sangat memahami dinamika global Gereja Katolik. Lahir di wilayah utara Italia, ia juga pernah menjalankan tugas diplomatik sebagai perwakilan kepausan di Venezuela. Perannya dalam menjalin hubungan antara Vatikan dengan berbagai negara, termasuk Vietnam dan China, dinilai sangat strategis.

Ia bahkan terlibat langsung dalam perjanjian bersejarah antara Vatikan dan Beijing soal pengangkatan uskup—isu sensitif dalam relasi kedua pihak.

Namun, di balik kemampuannya membangun diplomasi, Parolin bukan tanpa kontroversi. Ia pernah secara terbuka mengkritik kebijakan Donald Trump terkait isu Palestina. Jika benar terpilih sebagai paus, hubungan Vatikan dengan Amerika Serikat bisa saja menjadi lebih rumit.

Di sisi lain, ia dinilai sebagai pribadi yang konservatif namun hati-hati, serta mendukung visi pastoral Paus Fransiskus. Kemampuannya dalam berdiplomasi disebut akan menjadi poin penting dalam pemilihan nanti. Francois Mabille, Direktur Observatorium Geopolitik Agama Prancis, bahkan menilai kemampuan ini sebagai aspek krusial dalam memilih pemimpin baru Gereja Katolik.

  1. Kardinal Luis Antonio Tagle – “Fransiskus dari Asia”

Kardinal Luis Antonio Tagle, atau akrab disapa “Chito”, menjadi kandidat kuat lainnya yang mendapat sorotan. Ia berasal dari Filipina dan kerap disebut sebagai “Fransiskus dari Asia” berkat pendekatan pastoralnya yang hangat dan penuh empati, mirip dengan sang paus terdahulu.

Tagle saat ini menjabat sebagai kepala departemen Vatikan untuk penginjilan. Perannya penting, terutama dalam menjangkau komunitas Katolik di negara-negara berkembang. Ia dikenal sebagai pribadi yang inklusif, kerap menyuarakan kepedulian terhadap kelompok yang sering kali termarginalkan, seperti komunitas LGBT, ibu tunggal, serta umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali.

Pada 2015, Tagle bahkan mengkritik cara Gereja memperlakukan kelompok-kelompok tersebut. Menurutnya, bahasa dan sikap keras Gereja telah membuat banyak umat merasa terasingkan di ruang publik.

Namun, tidak semua pihak sepenuhnya yakin akan kapasitas manajerialnya. Ia sempat dikritik karena dianggap kurang tegas dalam menangani Caritas, lembaga amal Katolik, saat menjabat sebagai presidennya.

Jika terpilih, Tagle akan menjadi paus pertama dari Asia Tenggara dan Filipina. Ini akan menjadi momen bersejarah sekaligus mencerminkan tumbuhnya kekuatan Gereja di kawasan Asia.

  1. Kardinal Peter Turkson – Suara Afrika untuk Dunia

Nama ketiga yang patut diperhitungkan datang dari Afrika: Kardinal Peter Turkson dari Ghana. Sosok ini sudah cukup lama masuk dalam radar Vatikan. Ia dikenal karena kiprahnya dalam isu keadilan sosial dan ekonomi.

Turkson termasuk dalam jajaran pemimpin Gereja yang cukup progresif secara sosial. Ia kerap mengkritik kapitalisme neoliberal dan aktif mendorong terciptanya perdamaian di benua Afrika. Banyak yang melihat adanya kesamaan nilai antara dirinya dengan Paus Fransiskus, khususnya dalam hal kasih terhadap kaum miskin dan perlindungan terhadap bumi.

Namun demikian, secara teologis, Turkson cenderung konservatif. Ia menentang penggunaan kondom bahkan saat pandemi AIDS di Afrika, serta menyuarakan penolakan terhadap homoseksualitas.

Turkson juga sempat masuk dalam bursa calon paus pada 2013. Jika terpilih, ia akan menjadi paus Afrika pertama sejak abad ke-5, tepatnya sejak Paus Gelasius I.

Kendati begitu, sejumlah faktor dapat menghambat peluangnya. Usianya yang kini 76 tahun mungkin dianggap terlalu lanjut. Selain itu, reputasi Gereja Afrika yang buruk dalam menangani kasus pelecehan seksual turut menjadi pertimbangan tersendiri.

Baca juga: Paus Fransiskus Wafat di Usia 88 Tahun, Seruan Terakhirnya: Gencatan Senjata untuk Gaza

Menanti Asap Putih, Menanti Harapan Baru

Siapa pun yang akan terpilih dalam conclave nanti, satu hal yang pasti: dunia tengah menantikan pemimpin baru yang mampu menjawab tantangan zaman. Gereja Katolik kini berada di titik persimpangan antara tradisi dan perubahan, antara keimanan dan realita sosial yang terus berkembang.

Akankah pemimpin baru datang dari Eropa lagi, atau justru Asia dan Afrika? Kita akan segera mengetahuinya, ketika asap putih kembali membubung dari Kapel Sistina.