Writer: Raodatul - Senin, 22 Desember 2025 13:14:14
FYPMedia.id – Sebuah usulan mengejutkan sekaligus strategis muncul dari Gedung Parlemen terkait polemik keberlanjutan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di masa libur sekolah.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris, secara tegas mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara penyaluran MBG selama libur Desember hingga Januari 2026 dan mengalihkan anggarannya untuk membantu korban bencana alam yang saat ini sedang menderita.
Langkah ini dinilai sebagai solusi kemanusiaan yang mendesak mengingat efektivitas distribusi makanan di masa libur sekolah dianggap sangat rendah dan berpotensi memboroskan keuangan negara.
Realokasi Anggaran: Solusi Cerdas di Tengah Darurat Bencana
Charles Honoris menyoroti bahwa memaksakan sebuah program di saat ekosistem pendukungnya (sekolah) sedang non-aktif adalah tindakan yang tidak bijak.
Menurutnya, Indonesia saat ini memiliki skala prioritas yang lebih krusial, yakni pemulihan daerah terdampak bencana, khususnya di wilayah Sumatera yang membutuhkan bantuan logistik dan medis segera.
"Alih-alih memaksakan program di masa yang kurang relevan, bukankah lebih bijak bila anggaran tersebut dialihkan untuk merespons kebutuhan mendesak lainnya?" tegas Charles, dilansir dari detikcom, Senin (22/12/2025).
Ia menambahkan bahwa anggaran tersebut akan jauh lebih berdaya guna jika disuntikkan ke fasilitas kesehatan atau percepatan penanganan gizi di wilayah yang sedang mengalami krisis akibat bencana alam maupun stunting akut.
"Misalnya, membantu korban bencana di Sumatera atau memperkuat fasilitas kesehatan dan pemulihan gizi di daerah terdampak stunting akut," sambung politisi tersebut.
Baca Juga: Arus Mudik Natal 2025 Mulai Padat, 330 Ribu Kendaraan Tinggalkan Jabotabek
Kritik Tajam: Risiko "Hambur-Hamburkan" Dana Negara
Salah satu kekhawatiran terbesar Komisi IX adalah terkait kualitas makanan yang disalurkan selama masa libur. Berdasarkan laporan lapangan, distribusi makanan saat sekolah tutup cenderung mengandalkan produk kemasan atau ultra processed food (UPF) demi kepraktisan logistik. Hal ini dinilai sangat berbahaya karena justru menjauhkan anak-anak dari tujuan awal program: perbaikan gizi nyata.
Charles mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak dalam ego sektoral untuk sekadar menghabiskan pagu anggaran di akhir tahun anggaran.
"Kita perlu jujur: jangan sampai program ini dipaksakan hanya demi menghabiskan anggaran di akhir tahun. Kegiatan publik seperti ini harus berorientasi pada manfaat nyata, bukan pada serapan belanja," ujarnya.
Menurut pandangan parlemen, ketika anak-anak berada di rumah, peran orang tua dalam menyediakan makanan segar jauh lebih dominan.
Maka, memberikan makanan olahan rendah gizi hanya demi menggugurkan kewajiban program adalah sebuah ironi besar.
"Sekolah libur berarti ekosistem belajar, tempat anak-anak menerima manfaat MBG, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Distribusi makanan kering di masa libur, yang menurut laporan lapangan banyak berisi produk kemasan dan ultra processed food (UPF), berisiko melenceng dari tujuan awal program ini," jelas Charles.
Baca Juga: Bonus Naik, Atlet Indonesia Cetak Sejarah di SEA Games 2025
Dilema Logistik: Skema Delivery vs Efisiensi Bencana
Di sisi lain, Badan Gizi Nasional (BGN) melalui Kepala BGN Dadan Hindayana tetap berupaya menjalankan program ini dengan skema pengantaran (delivery) ke rumah-rumah siswa. Namun, rencana ini diprediksi akan memakan biaya operasional yang fantastis dan rumit secara teknis.
Dadan menjelaskan bahwa timnya tengah merancang sistem agar anak sekolah tetap mendapatkan asupan, meski harus dijemput ke Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau diantar langsung.
"Untuk sisa hari, jika siswa bersedia datang ke sekolah dibagikan ke sekolah, jika tidak, perlu mulai didata mekanisme delivery ke rumah-rumah atau diambil di SPPG. Kita sedang rancang sistem delivery setelah 4 hari libur," ungkap Dadan.
Namun, bagi DPR, skema ini dianggap kurang masuk akal dibandingkan dengan urgensi menyelamatkan nyawa pengungsi bencana alam yang kehilangan tempat tinggal dan akses makanan layak.