FYP Media.ID – Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun kembali mencuat ke publik. Nama Nadiem Makarim, mantan Mendikbudristek, kembali menjadi sorotan setelah memenuhi panggilan kedua Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam proses penyidikan kasus digitalisasi pendidikan 2019–2023.
Didampingi pengacara kondang Hotman Paris, kehadiran Nadiem di Gedung Bundar Jampidsus menjadi tajuk utama media nasional. Dalam artikel ini, kami merangkum 9 fakta penting dan mengejutkan seputar kasus yang berpotensi menjadi skandal pendidikan terbesar dalam satu dekade terakhir.
1. Nadiem Makarim Hadir Diperiksa, Didampingi Hotman Paris
Tepat pukul 08.57 WIB, Nadiem Makarim tiba di Gedung Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Selasa (15/7/2025). Mengenakan kemeja krem dan membawa tas hitam, ia tak memberikan pernyataan apapun kepada awak media.
Namun kehadiran Hotman Paris sebagai bagian dari tim kuasa hukumnya menegaskan bahwa kasus ini bukan perkara kecil.
2. Komitmen Kooperatif: Nadiem Buka Diri untuk Penyidikan
Meski diam saat kedatangan, dalam pemeriksaan sebelumnya (23 Juni 2025), Nadiem menegaskan bahwa dirinya siap bersikap kooperatif.
“Saya akan terus bersikap kooperatif untuk membantu menjernihkan persoalan ini,” katanya.
“Saya merasa bertanggung jawab menjaga kepercayaan masyarakat terhadap transformasi pendidikan.”
Pernyataan ini menjadi komitmen moral dari mantan petinggi negara yang kini menjadi perhatian publik.
3. Kejagung: Kasus Chromebook Naik ke Tahap Penyidikan
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, kasus ini resmi naik ke tahap penyidikan sejak 20 Mei 2025. Dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor 38, penyidik mendalami dugaan korupsi dalam pengadaan digitalisasi pendidikan.
Fokus penyidikan mengarah pada dugaan persekongkolan jahat yang mengarahkan tim teknis untuk memaksakan penggunaan laptop berbasis sistem operasi Chromebook, padahal tak sesuai kebutuhan.
4. Uji Coba Gagal: Chromebook Tak Efektif untuk Pendidikan Indonesia
Fakta penting lainnya adalah hasil uji coba pada 2019 terhadap 1.000 unit Chromebook. Menurut Harli, penggunaan laptop berbasis internet itu tidak efektif, karena infrastruktur jaringan di banyak daerah Indonesia masih sangat terbatas.
“Penggunaan Chromebook dianggap tidak tepat karena ketergantungannya pada internet. Tapi proyek ini tetap dilanjutkan,” ungkapnya.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa proyek tetap dijalankan meski terbukti tidak cocok?
5. Dana Fantastis: Hampir Rp10 Triliun Dianggarkan
Skala proyek ini tidak main-main. Total anggaran yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp9,9 triliun, yang terdiri dari:
-
Rp3,582 triliun untuk satuan pendidikan
-
Rp6,399 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana sebesar itu seharusnya mampu meningkatkan kualitas pendidikan secara merata, namun kini justru terseret dalam pusaran korupsi.
6. Penggeledahan: Dua Apartemen Stafsus Nadiem Jadi Sasaran
Setelah naik ke tahap penyidikan, penyidik Kejagung langsung melakukan penggeledahan di dua lokasi:
-
Apartemen Kuningan Place
-
Apartemen Ciputra World 2
Dari penggeledahan itu, disita dokumen penting dan perangkat elektronik milik dua staf khusus Nadiem, yakni Fiona Handayani dan Juris Stan.
7. Dugaan Persekongkolan Pengadaan: Siapa Di Balik Keputusan Chromebook?
Kejagung menyebut ada indikasi kuat adanya permufakatan jahat, di mana tim teknis diarahkan agar pengadaan perangkat TIK harus berbasis Chromebook. Ini menunjukkan adanya manipulasi sistemik dalam pengambilan keputusan strategis di sektor pendidikan.
“Kajian teknis diarahkan agar keputusan berpihak pada produk Chromebook, padahal kebutuhannya berbeda,” jelas Harli.
8. Kasus Sempat Ditangani Kejati Lampung dan KPK
Uniknya, sebelum ditangani Kejagung, kasus Chromebook juga sempat disentuh oleh Kejati Lampung dan KPK. Kejagung menyatakan bahwa saat ini mereka akan memilah bagian-bagian penanganan yang belum tersentuh.
Artinya, masih banyak potensi pengembangan perkara dan nama-nama baru yang mungkin terseret dalam waktu dekat.
9. Fokus Pemeriksaan: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dengan nilai proyek mencapai hampir Rp10 triliun, publik bertanya-tanya: Siapa yang menyetujui proyek ini? Siapa yang bertanggung jawab atas pengadaan? Nadiem Makarim memang telah meninggalkan jabatan sebagai Mendikbudristek, tapi keterlibatannya tetap menjadi perhatian karena:
-
Masa jabatan Nadiem mencakup rentang 2019–2024
-
Kebijakan Chromebook dilakukan di bawah kepemimpinannya
-
Dokumen pengadaan dan persetujuan proyek ada dalam lingkup kementerian
Kesimpulan: Transparansi Diuji, Publik Menanti Jawaban Tegas
Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek menjadi sorotan besar dan ujian nyata bagi transparansi pengelolaan anggaran pendidikan di Indonesia. Program digitalisasi pendidikan yang sejatinya ditujukan untuk mendorong kemajuan bangsa justru meninggalkan tanda tanya besar, terutama dalam hal kebutuhan, efektivitas, dan alokasi anggaran.
Dengan nilai proyek mencapai Rp9,9 triliun, publik menaruh harapan besar kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas kasus ini, termasuk mengungkap siapa saja pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan hingga pelaksanaan proyek. Dugaan persekongkolan dalam pengadaan Chromebook yang dinilai tidak sesuai kebutuhan dan tidak efektif dari hasil uji coba menjadi dasar kuat untuk mengusut adanya penyimpangan.
Kehadiran mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dalam pemeriksaan sebagai saksi dan komitmennya untuk bersikap kooperatif turut menjadi perhatian masyarakat. Nadiem menyatakan dirinya siap membantu proses hukum demi menjaga kepercayaan publik terhadap transformasi pendidikan yang telah dibangun selama masa kepemimpinannya.
Kini, masyarakat menanti kejelasan: apakah ini hanya kesalahan teknis atau ada indikasi kuat korupsi berjamaah yang melibatkan banyak pihak? Apakah proyek digitalisasi ini benar-benar demi kepentingan pendidikan, atau justru menjadi ladang penyalahgunaan anggaran?
Jawaban atas semua pertanyaan itu sangat dinantikan. Media, masyarakat, dan aparat penegak hukum memiliki peran penting untuk terus mengawal jalannya proses hukum dengan transparan, adil, dan tuntas. Hanya dengan begitu, kepercayaan terhadap dunia pendidikan dan institusi negara bisa benar-benar dipulihkan.