FYPMedia.ID – Laporan terbaru dari UN Convention to Combat Desertification (UNCCD) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa 40% daratan Bumi telah menjadi kering secara permanen dalam tiga dekade terakhir. Temuan ini menyoroti ancaman serius yang dihadapi umat manusia akibat perubahan iklim yang terus memperparah kondisi daratan, mengancam ekosistem vital, dan mengakibatkan kerawanan pangan global.
Sejak 1990-an, area kekeringan di Bumi meluas mencapai hingga 4,3 juta kilometer persegi, mencakup hampir 77,6% daratan di Bumi pada tahun 2020, kecuali Antartika. Daerah yang dulunya lembap kini berubah menjadi gersang, memengaruhi lebih dari 2,3 miliar orang di seluruh dunia.
Baca juga: Perubahan Cuaca di Bulan November 2024: Antisipasi Dampak Cuaca Ekstrem di Indonesia
Jika tren ini terus berlanjut, diperkirakan hingga lima miliar orang akan tinggal di wilayah kering pada tahun 2100. Dampaknya mencakup penurunan produktivitas lahan pertanian, kerawanan pangan, peningkatan badai pasir di Timur Tengah, dan ancaman migrasi massal.
Ibrahim Thiaw, Sekretaris Eksekutif UNCCD, memperingatkan bahwa kondisi iklim yang semakin kering akan sulit dipulihkan. “Ketika iklim menjadi lebih kering, kemampuan untuk kembali ke kondisi semula hilang. Perubahan ini mendefinisikan ulang kehidupan di Bumi,” ujarnya.
Kepala ilmuwan UNCCD, Barron Orr, menambahkan bahwa tanpa upaya kolektif, umat manusia menghadapi masa depan yang ditandai oleh kelaparan, pengungsian, dan keruntuhan ekonomi.
Kekeringan yang terjadi disebabkan oleh meningkatnya suhu global yang mempercepat penguapan air, ditambah dengan aktivitas manusia seperti pembukaan lahan dan eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Baca juga: Etana dan BeiGene Luncurkan Obat Terapi Kanker Berkualitas dengan Harga Terjangkau
Dampaknya sangat terlihat di wilayah Afrika, Brasil, dan Eropa yang kini 95% lebih kering secara permanen. Situasi ini juga memperburuk kebakaran hutan, degradasi tanah, dan pengurangan sumber daya air yang sangat diperlukan bagi kehidupan.
Untuk mengatasi krisis ini, laporan PBB menyerukan langkah-langkah mendesak, seperti penurunan emisi karbon, penggunaan lahan dan air secara efisien, serta adopsi metode irigasi hemat air seperti irigasi tetes. Peningkatan pemantauan kekeringan dan kolaborasi internasional juga menjadi kunci untuk mencegah kondisi ini semakin memburuk.
Melalui inovasi dan solidaritas global, masih ada peluang untuk mengurangi dampak dari fenomena ini. Namun, tantangan utamanya adalah memastikan kemauan bersama untuk bertindak sebelum kondisi ini mencapai titik tidak bisa kembali. Krisis kekeringan global ini bukan sekadar ancaman bagi ekosistem, tetapi juga masa depan umat manusia secara keseluruhan.