Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut: Yusril dan JK Beda Pandangan soal Perjanjian Helsinki

Empat Pulau Jadi Sengketa, Yusril dan JK Beda Tafsir Perjanjian Helsinki

Empat Pulau Jadi Sengketa, Yusril dan JK Beda Tafsir Perjanjian Helsinki

FYPMedia.ID Sengketa atas empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas. Dua tokoh nasional, Yusril Ihza Mahendra dan Jusuf Kalla (JK), mengeluarkan pendapat berbeda soal dasar hukum yang bisa dijadikan rujukan dalam menyelesaikan polemik ini. Di tengah polemik, isu ini menyedot perhatian publik karena menyangkut batas wilayah dan kedaulatan daerah.

Empat Pulau yang Diperebutkan

Secara geografis, keempat pulau ini memang lebih dekat secara jarak fisik dengan wilayah pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Tak heran jika dalam beberapa dokumen administratif modern, pulau-pulau ini sempat masuk ke dalam peta kewenangan Sumut.

Baca Juga: Banjir Aceh Selatan: 7 Desa Terendam, Ratusan Warga Mengungsi dalam Kepungan Air

Namun, dari sisi historis dan sosial-budaya, banyak pihak—terutama tokoh Aceh—menyatakan bahwa keempat pulau tersebut sejak dulu menjadi bagian dari Aceh Singkil, wilayah paling selatan dari Provinsi Aceh. Penduduk di kawasan tersebut, nelayan lokal, hingga aparat desa, konon selama bertahun-tahun menjalankan aktivitas ekonomi, sosial, dan keagamaan yang terhubung langsung dengan struktur pemerintahan Aceh, bukan Sumut.

Beberapa catatan sejarah lokal dan laporan pemerintahan lama (pra-reformasi) juga menyebutkan bahwa pulau-pulau ini pernah menjadi bagian dari peta distrik administratif Aceh pada era 1950-an, mendukung klaim yang dibawa oleh pihak yang pro-Aceh.

Tak hanya itu, banyak peta kolonial lama yang menggambarkan batas wilayah administratif Residentie Atjeh menunjukkan bahwa gugusan pulau ini tidak pernah secara eksplisit dimasukkan ke dalam wilayah Sumatera Timur atau Tapanuli.

Hal inilah yang membuat status empat pulau tersebut menjadi zona abu-abu ketika pemerintah pusat melakukan pemekaran daerah dan penyesuaian batas administratif pasca-reformasi. Perbedaan referensi peta, tidak adanya koordinasi lintas daerah, hingga kurangnya dokumentasi hukum yang eksplisit membuat celah ini membesar.

Dan kini, ketika pulau-pulau itu masuk ke dalam basis data Kemendagri sebagai bagian dari Sumut, reaksi keras pun muncul, terutama dari pihak Aceh yang merasa “dicuri” hak wilayahnya secara diam-diam dan administratif.

Yusril: Perjanjian Helsinki Tak Relevan

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Perjanjian Helsinki tahun 2005 tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam menentukan status empat pulau itu. Menurutnya, Perjanjian Helsinki lebih bersifat politis dan berkaitan dengan penyelesaian konflik bersenjata antara Pemerintah RI dan GAM, bukan sebagai landasan pengaturan batas wilayah administratif.

“Undang-Undang Pembentukan Provinsi Aceh Tahun 1956 tidak menyebutkan secara spesifik keempat pulau itu. Batas wilayahnya belum ditentukan secara detail pada masa itu,” ujar Yusril saat ditemui di Depok (15/6/2025).

Ia menambahkan bahwa isu batas wilayah muncul setelah era reformasi, ketika terjadi pemekaran wilayah. Menurut Yusril, penyelesaian harus berpegang pada hukum positif dan perundang-undangan yang berlaku saat ini, bukan hanya sejarah atau kesepakatan politik masa lalu.

JK: Perjanjian Helsinki Rujukan Historis Penting

Sementara itu, Jusuf Kalla—Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, menilai sebaliknya. JK mengatakan bahwa Perjanjian Helsinki merujuk pada kondisi geografis dan administratif wilayah Aceh pada 1 Juli 1956, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.

“Dalam Pasal 1 ayat 1 poin 4 disebutkan bahwa perbatasan Aceh mengacu pada situasi per 1 Juli 1956. Empat pulau itu secara historis memang masuk ke Aceh,” ungkap JK dalam pernyataannya di Jakarta Selatan (13/6/2025).

JK pun memberikan analogi serupa di daerah lain. Misalnya, ada pulau di Nusa Tenggara Timur yang lebih dekat ke Sulawesi Selatan, namun tetap masuk wilayah Sulsel karena sejarah administratifnya. Dengan argumentasi serupa, JK meminta Kementerian Dalam Negeri meninjau ulang keputusan yang dianggap ‘cacat formil’ karena mengabaikan sejarah.

Protes Masyarakat dan Mahasiswa

Polemik ini juga memicu aksi protes. Persatuan Mahasiswa Aceh Jakarta Raya menggelar aksi di depan Gedung Kemendagri (13/6/2025). Mereka menuntut agar empat pulau itu dikembalikan ke Aceh Singkil.

“Ini bukan soal jarak, tapi soal sejarah dan identitas. Kami tidak terima tanah kami dialihkan begitu saja tanpa partisipasi rakyat Aceh,” kata salah satu orator aksi.

Jejak Perjanjian Helsinki

MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Finlandia oleh Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Martti Ahtisaari. Perjanjian ini mengakhiri konflik 30 tahun lebih dan menjadi tonggak penting bagi perdamaian Aceh.

Beberapa poin utama dalam MoU tersebut antara lain:

  • Pengakuan hak Aceh untuk membentuk partai lokal
  • Penarikan pasukan non-organik dari Aceh
  • Pengelolaan kekayaan alam oleh pemerintah Aceh
  • Penghentian konflik bersenjata secara permanen
  • Referensi pada batas wilayah Aceh tahun 1956

Namun, meski MoU tersebut menjadi dasar lahirnya UU Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, tidak ada pasal eksplisit yang mengatur status pulau-pulau sengketa secara langsung.

Solusi Lewat Jalur Hukum dan Mediasi

Yusril mengatakan bahwa persoalan batas wilayah harus diselesaikan berdasarkan data peta, kajian hukum, dan keputusan bersama antarpemerintah daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat.

“Kita sudah punya pengalaman menyelesaikan sengketa wilayah antara provinsi lain, bahkan hingga ke Mahkamah Konstitusi. Semua bisa diselesaikan lewat cara hukum, bukan saling klaim di media,” jelasnya.

Senada, banyak pihak di DPR dan aktivis masyarakat sipil mendesak Kemendagri agar melakukan mediasi terbuka dan transparan. Beberapa anggota DPR bahkan meminta agar putusan final melibatkan partisipasi masyarakat setempat.

Baca Juga: Belgia Bangun Pulau Energi Buatan Pertama di Dunia: Langkah Besar Menuju Transisi Energi Bersih

Menjaga Persatuan di Tengah Sengketa

Sengketa empat pulau Aceh-Sumut adalah cermin tantangan otonomi daerah dan integrasi nasional. Di tengah perbedaan pendapat antara tokoh besar seperti Yusril dan JK, semangat penyelesaian damai dan adil tetap harus menjadi pegangan utama.

Dengan peran aktif dari pemerintah pusat, masyarakat lokal, dan pendekatan hukum yang jelas, polemik ini diharapkan tidak berkembang menjadi konflik horizontal yang lebih luas.