FYPMedia.ID – Gejolak ekonomi global kembali jadi sorotan publik. Mulai dari pelemahan rupiah terhadap dolar AS, kebijakan tarif impor baru dari Presiden Donald Trump, hingga harga emas yang tiba-tiba anjlok setelah mencetak rekor. Semua sinyal ini memperkuat kekhawatiran: apakah Indonesia sedang menuju krisis ekonomi?
Pada Sabtu, 5 April 2025, tiga berita paling banyak dibaca publik menyoroti isu-isu krusial yang berpotensi mengancam stabilitas ekonomi nasional. Berikut rangkuman dan analisisnya.
1. Pengamat: Tanda-Tanda Krisis Ekonomi Mulai Terlihat
Ronny P. Sasmita, pengamat ekonomi dari Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), memperingatkan bahwa Indonesia perlu waspada terhadap tren pelemahan mata uang rupiah yang tengah terjadi.
Dalam wawancaranya dengan Liputan6, Ronny menyebutkan bahwa walau situasinya belum separah krisis ekonomi 1998, fenomena pelemahan rupiah ini bisa menjadi peringatan dini yang serius jika tidak segera direspons dengan langkah-langkah fundamental.“Pemerintah harus benar-benar hati-hati. Ini warning sebenarnya. Dari pelemahan mata uang ini, walaupun belum selevel 1998, tetap harus dilihat sebagai sinyal untuk memproyeksikan kondisi ekonomi ke depan,” jelas Ronny.
Ia menambahkan, stabilitas nilai tukar sangat penting dalam menjaga kepercayaan investor dan kestabilan ekonomi secara umum. Jika tidak ada intervensi kebijakan yang kuat dan terarah, bukan tidak mungkin Indonesia masuk ke fase krisis yang lebih dalam.
Saat artikel ini ditulis, nilai tukar rupiah tercatat menembus Rp 16.600 per dolar AS, level yang belum pernah terjadi sejak krisis global 2008.
Baca Juga: Pemudik Lebaran 2025 Diprediksi Menurun, Apa Pengaruh Ekonomi Terhadap Tradisi Mudik?
2. Trump Kenakan Tarif Impor 32% ke Produk Indonesia
Gejolak ekonomi global semakin panas setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan tarif impor sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia. Kebijakan ini disampaikan langsung dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih, pada Rabu, 2 April 2025.
Trump menyebut kebijakan ini sebagai bentuk “deklarasi kemerdekaan ekonomi” bagi Amerika Serikat. Ia menilai, banyak negara termasuk Indonesia telah mendapatkan keuntungan dari neraca perdagangan yang dianggap tidak adil.“Selama ini kita terlalu lunak. Kita membuka pasar kita, sementara negara lain menutup pintunya,” ujar Trump. “Tarif ini adalah bentuk perlindungan terhadap industri domestik kita.”
Dampaknya bisa sangat besar bagi Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD 3,14 miliar dengan AS hingga akhir Februari 2025. Pengenaan tarif ini bisa memangkas surplus tersebut dan memukul sektor ekspor dalam negeri, terutama industri tekstil, elektronik, dan furnitur.
Jika ekspor Indonesia ke AS anjlok, maka cadangan devisa bisa tertekan lebih jauh, memperparah tekanan pada nilai tukar rupiah dan defisit neraca berjalan.
3. Harga Emas Antam Turun Rp 17.000, Saatnya Beli?
Tekanan ekonomi global juga tercermin dari pergerakan harga emas. Setelah mencetak rekor harga tertinggi sepanjang sejarah di Rp 1.836.000 per gram, harga emas batangan Antam tiba-tiba anjlok Rp 17.000 menjadi Rp 1.819.000 per gram pada Jumat, 4 April 2025.
Fenomena ini terjadi seiring harga emas dunia yang juga tergelincir tajam di tengah aksi ambil untung (profit taking) dan penguatan dolar AS. Harga emas di pasar spot turun hampir 3% dalam sehari, menjadi salah satu penurunan harian terbesar dalam beberapa bulan terakhir.
Tak hanya harga jual, harga buyback emas Antam juga turun sebesar Rp 17.000 menjadi Rp 1.671.000 per gram. Harga buyback ini adalah harga yang digunakan jika konsumen ingin menjual kembali emas ke PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
Penurunan harga ini bisa jadi peluang menarik bagi investor yang ingin melakukan akumulasi emas fisik sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian ekonomi. Namun tetap perlu diingat, volatilitas harga emas masih tinggi, dan pergerakannya sangat sensitif terhadap kebijakan suku bunga global, perang dagang, dan fluktuasi dolar AS.
Baca Juga: Uang Beredar RI Sentuh Rp 9.239,9 Triliun per Februari 2025, Apa Artinya untuk Ekonomi?
Jika disatukan, ketiga berita di atas menggambarkan lanskap ekonomi yang sedang bergerak ke arah tekanan besar. Pelemahan rupiah menunjukkan potensi ketidakstabilan moneter dalam negeri. Tarif impor dari AS mengindikasikan pelemahan hubungan dagang strategis. Dan anjloknya harga emas menandakan gejolak pasar global yang belum akan mereda dalam waktu dekat.
Pertanyaannya sekarang: apakah ini tanda-tanda krisis yang tak bisa dihindari?
Bagi sebagian ekonom, jawabannya tergantung dari bagaimana pemerintah dan otoritas moneter merespons. Jika Bank Indonesia mampu menjaga stabilitas nilai tukar dan pemerintah cepat dalam mengamankan rantai pasok ekspor, Indonesia masih bisa terhindar dari resesi.
Namun, jika tidak ada intervensi nyata, maka kombinasi tiga faktor ini bisa jadi awalan dari krisis ekonomi baru, yang bukan hanya berdampak pada sektor makro, tapi juga terasa langsung di dapur rumah tangga rakyat kecil.