FYPMedia.ID – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan pelemahan signifikan. Saat ini, rupiah berada di level Rp 16.200-an, menciptakan tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah dan pelaku usaha pun bereaksi untuk merespons kondisi ini.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan pentingnya pemantauan nilai tukar.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, nilai tukar rupiah dipatok sebesar Rp 15.000/US$, sementara di APBN 2025 ditargetkan pada level Rp 16.000/US$.
“Kita monitor, kan rupiah di APBN juga sudah ada angka, jadi kita monitor aja,” ujar Airlangga (19/12/2024).
Meski pelemahan nilai tukar ini dianggap wajar dalam dinamika ekonomi global, kondisi dolar AS yang terus menguat tetap menjadi perhatian.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, memproyeksikan rupiah akan bergerak di kisaran Rp 15.800-16.350 pada 2025.
“Rupiah diproyeksikan masih akan tertekan pada paruh pertama 2025 karena kecenderungan penguatan dolar AS dan akan menguat pada paruh kedua setelah pasar mampu mengantisipasi kebijakan Presiden Trump,” ujar Ketua Umum Apindo Shinta Kadani dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta.
Baca juga: Kpopers Demo Tolak PPN 12%: Lightstick, Lagu SNSD dan Pesan Semangat
Dampak Langsung ke Sektor Energi dan Pertambangan
Sektor energi menjadi salah satu yang paling terdampak oleh pelemahan rupiah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa perusahaan seperti Pertamina sangat bergantung pada dolar AS untuk kebutuhan impor bahan bakar minyak (BBM) dan LPG. Total impor tersebut diperkirakan mencapai Rp 500-550 triliun per tahun.
“Di sektor ESDM memang salah satu yang membutuhkan dolar paling banyak itu adalah Pertamina. (Alasannya) kita ini mengimpor BBM kita termasuk LPG satu tahun, itu membutuhkan uang sekitar Rp 500 triliun sampai Rp 550 triliun devisa kita keluar,” kata Bahlil saat ditemui di Kantor BPH Migas, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2024).
Selain itu, bisnis di sektor pertambangan juga menghadapi tekanan karena banyak komponen, seperti suku cadang, yang dibeli dalam dolar AS. Hal ini berpotensi meningkatkan biaya operasional.
“Dan itu pasti kita tukar dengan dolar. Nah, terkait dengan urusan bisnis teman-teman di tambang, karena spare partnya kan harganya dolar, pasti akan berdampak. Tapi kita lihat, mudah-mudahan mampu di manage dengan baik oleh pelak usaha,” tambah Bahlil.
Strategi Pemerintah untuk Mengurangi Ketergantungan Impor
Untuk mengatasi tekanan terhadap nilai tukar, pemerintah berupaya mengurangi impor di sektor energi. Langkah ini diharapkan dapat menekan kebutuhan dolar dan memperbaiki stabilitas rupiah.
“Sekarang tugas kita itu adalah bagaimana mengurangi impor, agar kemudian kebutuhan kita terhadap dolar tidak terlalu banyak. Naik atau turunnya sebuah nilai mata uang itu kan tergantung hukum permintaan sebenarnya,” jelas Bahlil.
Baca juga: Rupiah Melesat ke Rp 15.400: Faktor Reshuffle Kabinet Jokowi, Berpengaruh?
Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan komitmennya dalam menjaga stabilitas nilai tukar dengan mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen. Langkah ini diambil untuk meredam dampak tekanan eksternal terhadap rupiah.
Faktor Global: Kebijakan Federal Reserve
Pelemahan rupiah tidak lepas dari sikap hawkish Federal Reserve. Ketua The Fed, Jerome Powell, baru-baru ini mengisyaratkan penurunan suku bunga yang lebih terbatas pada 2025, hanya sebesar 50 basis poin. Hal ini memicu penguatan dolar AS.
“Powell menegaskan hanya akan ada pemangkasan suku bunga sebesar 50 bps tahun depan, turun dari perkiraan sebelumnya di kisaran 75-100 bps,” jelas Lukman Leong, analis mata uang Doo Financial Futures, dikutip dari Antara, kamis (19/12/2024).
Revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dari 2 persen menjadi 2,5 persen serta inflasi inti Personal Consumption Expenditure (PCE) yang tetap tinggi di kisaran 2,4-2,8 persen turut mendukung penguatan dolar.
Dengan penguatan dolar AS yang didukung oleh kebijakan Federal Reserve dan proyeksi ekonomi Amerika Serikat yang solid, rupiah menghadapi tantangan besar.
Namun, langkah-langkah strategis seperti pengurangan impor, optimalisasi produksi energi domestik, dan kebijakan moneter yang tepat dari Bank Indonesia memberikan harapan untuk menjaga stabilitas ekonomi.
(Oda)