Pertamax Oplosan: 100 Warga Melapor, LBH Jakarta Siap Tempuh Jalur Hukum

Pertamax Oplosan: Ratusan Warga Melapor, LBH Jakarta Siap Tempuh Jalur Hukum

FYPMedia.ID –  Kasus dugaan pengoplosan Pertamax oleh PT Pertamina Patra Niaga menciptakan gelombang keresahan di masyarakat. Sejak Kejaksaan Agung mengungkap dugaan bahwa Pertamina membeli Pertalite dan mencampurnya untuk dijual sebagai Pertamax, ratusan warga telah melaporkan diri sebagai korban. Hingga awal Maret 2025, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat telah menerima lebih dari 500 pengaduan, baik secara daring maupun luring. Kini, LBH Jakarta tengah mempertimbangkan langkah hukum guna menuntut keadilan bagi masyarakat yang dirugikan.

Lonjakan Pengaduan Warga

Dalam konferensi pers, Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta, Daniel Winarta, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima 502 pengaduan hingga Sabtu (1/3/2025). Sementara itu, Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengonfirmasi bahwa jumlah pengaduan terus bertambah, dengan angka terbaru mencapai 526 kasus.

Mayoritas laporan yang masuk berisi keluhan mengenai kerugian ekonomi akibat selisih harga yang harus dibayarkan warga untuk membeli Pertamax yang diduga oplosan. Tak hanya itu, banyak warga juga mengeluhkan kerusakan kendaraan akibat kualitas bahan bakar yang tidak sesuai dengan standar yang dijanjikan. Beberapa pengadu juga merasa tertipu setelah mengetahui bahwa bahan bakar yang mereka beli ternyata memiliki kualitas lebih rendah dari yang diiklankan.

Baca juga: Ratusan Siswa SMA di Jatinangor Tolak Makanan Bergizi Gratis yang Berbau Basi

Dampak Besar bagi Konsumen

Banyak pengguna kendaraan bermotor kini merasa trauma menggunakan Pertamax. Beberapa bahkan mempertimbangkan untuk beralih ke SPBU swasta yang dianggap lebih terpercaya. Putra (32), warga Koja, Jakarta Utara, mengaku kapok menggunakan Pertamax dan lebih memilih brand lain jika jaringan SPBU swasta semakin luas.

“Saya bisa saja menggunakan Pertamax Turbo, tetapi saya tidak yakin apakah itu akan dioplos lagi,” ujar Putra.

Senada dengan Putra, Mario Anwar (35) juga mengaku jera membeli Pertamax. Sementara itu, Rudi (45), seorang pengemudi ojek online, menyesali keputusannya mengisi Pertamax yang ternyata oplosan. “Saya akan beralih dan pasti isi BBM ke Shell,” ungkapnya.

Rencana Gugatan Hukum

LBH Jakarta sedang mempertimbangkan beberapa opsi hukum untuk menangani kasus ini. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang dapat diajukan jika kasus ini menyangkut tata kelola kebijakan. Selain itu, ada juga opsi gugatan perwakilan kelas (class action), yang memungkinkan korban secara kolektif menuntut kompensasi atas kerugian mereka.

“Kami masih mengkaji lebih lanjut seluruh pengaduan sebelum menentukan langkah hukum yang akan diambil,” ujar Daniel Winarta.

Menurut LBH Jakarta, pemerintah harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami warga. Jika terbukti ada pelanggaran hukum, maka masyarakat berhak mendapatkan kompensasi. Untuk itu, LBH Jakarta membuka pos pengaduan secara luring sejak 28 Februari 2025 di kantor mereka di Jakarta Pusat.

Dugaan Korupsi di Tubuh Pertamina

Kasus pengoplosan Pertamax ini muncul seiring dengan pengusutan dugaan korupsi di lingkungan PT Pertamina dan subholding-nya. Kejaksaan Agung memperkirakan bahwa praktik korupsi di Pertamina telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun pada tahun 2023, dengan potensi total kerugian dalam lima tahun mencapai hampir Rp 1 kuadriliun.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, skema kerugian ini berasal dari berbagai praktik ilegal, seperti ekspor minyak mentah tanpa izin, impor minyak melalui perantara (broker), serta subsidi BBM yang tidak tepat sasaran.

Baca juga: Maung Siap Dijual Kendaraan Taktis PT Pindad Segera Bisa Dimiliki Masyarakat1

Bantahan dari Pertamina

Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) membantah tuduhan bahwa Pertamax yang mereka jual merupakan hasil oplosan. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menegaskan bahwa Pertamax tetap memenuhi standar RON 92 sesuai regulasi Kementerian ESDM.

“Blending adalah proses umum dalam produksi BBM untuk mencapai kadar oktan tertentu. Ini berbeda dengan oplosan yang dilakukan tanpa aturan,” jelas Fadjar.

Namun, bantahan ini tidak sepenuhnya meredam kemarahan publik. Banyak pihak menilai bahwa kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan energi nasional.

Tuntutan Pemeriksaan Independen

Para pakar dan aktivis hukum menekankan pentingnya investigasi yang dilakukan oleh tim independen. Menurut peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh, lemahnya pengawasan dan akuntabilitas dalam pengadaan minyak telah membuka celah bagi praktik korupsi.

“Sayangnya, penyelesaian kasus ini masih berfokus pada kerugian negara, bukan pemulihan hak rakyat yang terdampak,” tegas Saleh.

Oleh karena itu, LBH Jakarta dan berbagai pihak lainnya mendesak adanya audit menyeluruh terhadap tata kelola BBM di Indonesia. Mereka berharap kasus ini dapat menjadi momentum perbaikan bagi industri energi nasional dan memberikan keadilan bagi masyarakat yang telah dirugikan.

Kasus dugaan pengoplosan Pertamax menjadi salah satu skandal terbesar dalam industri BBM di Indonesia. Dengan ratusan warga yang merasa dirugikan, tuntutan terhadap keadilan semakin menguat. LBH Jakarta kini tengah mengkaji opsi hukum yang dapat ditempuh, sementara Kejaksaan Agung terus mendalami dugaan korupsi di tubuh Pertamina. Masyarakat berharap kasus ini dapat diusut tuntas dan menjadi titik balik dalam pengelolaan energi yang lebih transparan dan akuntabel di masa depan.