Negara dan Perempuan: Kartini Bukan Sekadar Kebaya di Setiap 21 April

Negara dan Perempuan: Kartini Bukan Sekadar Kebaya di Setiap 21 April

Negara dan Perempuan: Kartini Bukan Sekadar Kebaya di Setiap 21 April

FYPMedia. ID – Setiap tanggal 21 April, nama Kartini kembali menggema di seluruh penjuru negeri. Sekolah-sekolah dihiasi kebaya dan sanggul. Kantor-kantor mengadakan lomba menghias tumpeng dan pidato peringatan. Di atas podium, perempuan dipuji sebagai “tiang bangsa”, “penyangga keluarga”, dan “pejuang ganda yang tabah”. Kata-kata indah memenuhi ruangan, disambut tepuk tangan yang sopan namun jarang diiringi pertanyaan mendalam.

Kartini dan Tradisi Seremonial yang Mengaburkan Makna, namun andai Kartini bisa hadir sejenak hari ini, mungkin ia tak akan tersenyum. Ia akan bertanya dengan getir:
“Sudahkah negara benar-benar berpihak kepada perempuan?”

Karena peringatan bukan soal bunga dan busana. Ia bukan tentang lomba memasak atau kontes kebaya terbaik. Ia adalah warisan pemikiran. Kartini bukan selebrasi, tapi protes yang ditulis dalam surat. Ia bukan simbol, tetapi suara dari yang dibungkam.

Pujian Tak Selalu Berarti Keberpihakan

Jika bangsa ini ingin sungguh-sungguh menghormati Kartini, kita butuh lebih dari sekadar seremoni tahunan. Kita butuh keberanian untuk memandang hubungan negara dan perempuan dengan mata yang jernih dan jujur. Terlalu lama, suara perempuan hanya terdengar sebagai gema—gema dari ruang-ruang kekuasaan yang belum memberi tempat bagi pengalaman perempuan.

Setiap kali negara berbicara tentang perempuan, yang terdengar bukan suara, tapi gema.
Gema dari ruang-ruang sidang yang steril dari pengalaman nyata.
Gema dari podium seremonial yang gemar memuji, tapi enggan mendengar.

Kata “pemberdayaan” sering terdengar, tapi:
Siapa yang benar-benar berdaya?
Siapa yang masih dipinggirkan oleh sistem?

Beban Struktural yang Tak Terlihat

Mereka menyebut perempuan sebagai “pilar bangsa”, tapi tak pernah bertanya, apa rasanya menjadi pilar yang terus retak karena beban struktural?

  • Beban kerja domestik yang tak pernah dianggap sebagai kerja.
  • Upah yang tak setara.
  • Minimnya representasi politik dan kepemimpinan.
  • Kebijakan yang tidak berbasis pengalaman langsung perempuan.

Pada tahun 2025, tercatat lebih dari 330 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagian besar tidak berlanjut ke pengadilan. Korban sering memilih diam—karena takut, malu, atau tidak percaya pada sistem. Bahkan dalam pengadilan, korban masih harus membuktikan bahwa dirinya adalah “korban yang layak dipercaya”.

Sementara itu, perempuan di pelosok negeri menghadapi tantangan berbeda. Perempuan petani kehilangan lahan karena pembangunan. Perempuan adat kehilangan ruang hidup karena izin tambang. Perempuan migran kembali dengan luka, tanpa perlindungan negara.

Kartini Adalah Pemikiran, Bukan Kostum

Kartini, dalam surat-suratnya kepada Abendanon, menulis tentang pendidikan, kebebasan berpikir, dan hak menentukan hidup sendiri. Ia tidak membayangkan bahwa perjuangannya akan direduksi menjadi selebrasi pakaian adat. Kartini mengimpikan dunia di mana perempuan didengar, bukan hanya dikenang.

Kita harus jujur:
Selama negara masih memosisikan perempuan sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang aktif menyuarakan dan menentukan, maka semangat Kartini belum benar-benar hidup.

Selama ruang-ruang pengambilan keputusan belum benar-benar mencerminkan keberagaman suara perempuan—baik dari segi kelas, suku, disabilitas, atau wilayah—maka kita hanya merayakan simbol, bukan substansi.

Kartini Hari Ini: Suara dari Akar Rumput

Kartini hari ini bukan hanya ada di ruang kelas atau gedung pemerintahan.
Kartini adalah aktivis yang memperjuangkan tubuh dan ruang aman.
Ia adalah buruh pabrik yang menuntut hak cuti haid.
Ia adalah ibu tunggal yang memperjuangkan akta anaknya.
Ia adalah perempuan difabel yang menolak dikasihani, tapi menuntut aksesibilitas.
Ia adalah perempuan adat yang menjaga hutan, air, dan tanah dari perampasan.

Kartini adalah mereka yang terus berbicara meski sering disilakan duduk diam. Mereka yang melawan dengan tenang, meski sistem kerap tak berpihak.

Menghidupkan Warisan Kartini Lewat Kebijakan

Jika kita benar-benar ingin menghormati Kartini, maka penghormatan itu harus terlihat dalam:

  • Kebijakan yang melibatkan perempuan sebagai penyusun, bukan sekadar target.
  • Anggaran yang berpihak kepada kebutuhan perempuan dari berbagai latar belakang.
  • Sistem hukum yang berpihak dan melindungi korban, bukan malah membungkam.
  • Ruang politik yang inklusif, bukan tokenistik.
  • Pendidikan dan media yang menciptakan kesetaraan perspektif, bukan hanya retorika.

Bukan Gema, Tapi Suara

Bangsa yang besar tidak hanya mengenang para pahlawan dengan bunga dan pita, tetapi dengan kebijakan dan keberpihakan nyata.

Hari Kartini seharusnya bukan hanya gema dari masa lalu, tapi suara yang jernih untuk masa depan.

Dan untuk itu, kita semua harus bertanya dengan jujur:
Apakah kita hanya merayakan Kartini, atau benar-benar melanjutkan perjuangannya?