FYPMedia. ID – Polemik yang melibatkan anggota DPR dari PDIP, Rieke Diah Pitaloka, terus memanas setelah ia dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) oleh Alfadjri Aditia Prayoga.
Laporan tersebut didasari pada pernyataan Rieke yang mengkritik kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.
Kritik ini disampaikan melalui sebuah video yang diunggah di media sosial, di mana Rieke secara tegas meminta Presiden Prabowo Subianto membatalkan kebijakan tersebut.
MKD dan Respons Internal PDIP
Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam membenarkan bahwa laporan tersebut telah diterima. Namun, sidang etik yang seharusnya digelar pada 30 Desember 2024 harus ditunda.
“Sidangnya kemungkinan nanti setelah masuk masa sidang. Karena kami cek, anggota masih di dapil. Ada yang masih natalan juga,” ujar Nazaruddin pada (29/12/2024).
Menanggapi laporan ini, PDIP menyuarakan kritik keras terhadap MKD. Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus, menilai bahwa langkah MKD dapat melemahkan daya kritis anggota DPR.
“Menurut saya, apa yang dilakukan MKD akan berdampak kepada daya kritis anggota DPR dan berpotensi membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada lembaga DPR,” ujar Dedy pada Senin (30/12/2024) dikutip dari Tempo.co.
Baca juga: Rieke Diah Pitaloka Dilaporkan ke MKD Karena Provokasi Tolak PPN 12%
Kebebasan Berbicara Legislator dalam Sorotan
Deddy Sitorus juga menyoroti pentingnya kebebasan anggota DPR dalam menyampaikan kritik sebagai bagian dari fungsi checks and balances.
Menurutnya, tugas utama DPR adalah mengawasi pemerintah. “Yang harusnya dipermasalahkan adalah kalau Anggota DPR itu abai, kebal terhadap tugas dan aspirasi masyarakat. Yang harusnya diperiksa MKD itu menurut saya adalah Anggota DPR yg tidak pernah berbicara baik di ruang sidang maupun kepada publik melalui media mainstream maupun media sosial. Parlemen itu asal katanya ‘parle’, artinya ‘berbicara’. Kalau Anggota DPR tidak bersuara, untuk apa rakyat membayar gajinya yg berasal dari APBN itu?” ujarnya.
Lebih lanjut, Deddy memperingatkan bahwa MKD seharusnya melindungi kebebasan berbicara anggota DPR, bukan malah mengekang.
“Sangat berbahaya bagi DPR jika MKD dipakai sebagai sarana untuk menggunting lidah para anggotanya,” tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa DPR bisa kehilangan legitimasi jika kritik terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai pelanggaran etik.
Aria Bima dan Hak Imunitas Anggota DPR
Senada dengan Deddy, legislator PDIP lainnya, Aria Bima, turut mengkritik langkah MKD. Ia menekankan bahwa kritik Rieke terhadap kebijakan PPN 12 persen adalah bagian dari hak imunitas yang melekat pada anggota DPR.
“MKD tidak bisa mencampuri hak imunitas anggota Dewan, apalagi dalam hal mengkritik kebijakan, ya, tidak semua bisa dipanggil, emangnya MKD itu siapa,” kata anggota Komisi II DPR ini saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024), dilansir dari Tempo.co.
Ia juga mempertanyakan urgensi pemanggilan sidang etik terhadap Rieke. “Saya memprotes itu. MKD jangan latah menanggapi hal yang dilontarkan anggota Dewan. Bisa-bisa MKD yang dibubarkan,” ucapnya.
Baca juga: Langkah-langkah Pemerintah Tingkatkan Bantuan Sosial Menghadapi Kenaikan PPN 12%
Kritik Rieke Terhadap PPN 12%
Rieke sebelumnya mengunggah video yang menjadi sorotan publik. Dalam video tersebut, ia mengajak masyarakat mendukung penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
“Yuk kita berjuang bareng. Mudah-mudahan nanti ada kesempatan interupsi, kita perjuangkan penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen,” ujar Rieke pada 5 Desember 2024.
Dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani, Rieke juga menyerukan dukungan kepada Presiden Prabowo untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Ia menekankan pentingnya memahami Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan secara utuh.
“Keputusan naik tidaknya (PPN) harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter, serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya,” jelas Rieke.
Implikasi dan Kesimpulan
Kasus ini mencerminkan ketegangan antara kebebasan berbicara anggota DPR dan regulasi etik yang diatur oleh MKD.
Langkah MKD terhadap Rieke menuai kritik keras, terutama dari internal PDIP, yang memandangnya sebagai ancaman terhadap daya kritis legislator.
“Seharusnya MKD itu dibuat untuk melindungi kebebasan anggota DPR berbicara, bukan untuk mengekang atau menghukum,” tegas Deddy Sitorus.
Polemik ini tidak hanya menyentuh aspek hukum dan etika, tetapi juga menggambarkan dilema institusional di DPR.
Keputusan MKD dalam kasus ini akan menjadi preseden penting, baik untuk kebebasan berbicara anggota DPR maupun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Apakah langkah MKD ini akan menjadi solusi atau justru menciptakan masalah baru?
(Oda/Atk)