DPR RI Dijaga 5.021 Personel Gabungan Diterjunkan Kawal Demo Tolak RUU TNI

.021 Personel Gabungan Diterjunkan Jaga Demo Tolak RUU TNI di Gedung DPR RI
.021 Personel Gabungan Diterjunkan Jaga Demo Tolak RUU TNI di Gedung DPR RI

FYPMedia.ID – Suasana di sekitar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Senayan, Jakarta, hari ini berubah menjadi lautan massa. Ribuan mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil berbondong-bondong mendatangi kawasan parlemen. Mereka menyuarakan satu tuntutan: Menolak Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI)!

Gelombang massa yang datang dari berbagai universitas di Jakarta dan sekitarnya memenuhi area depan Gedung DPR RI. Mereka membawa spanduk, poster, serta meneriakkan yel-yel perlawanan terhadap revisi UU TNI yang dianggap kontroversial. Beberapa orator naik ke atas mobil komando, menyampaikan pidato yang membakar semangat demonstran.

5.021 Personel Gabungan Dikerahkan untuk Pengamanan

Untuk mengantisipasi potensi kericuhan, sebanyak 5.021 personel gabungan yang terdiri dari anggota Polri, TNI, serta aparat dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta disiagakan di berbagai titik strategis.

Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Polisi Susatyo Purnomo Condro, menegaskan bahwa seluruh personel pengamanan tidak dibekali dengan senjata api. Langkah ini diambil untuk memastikan pendekatan yang humanis serta menghindari potensi eskalasi kekerasan.

“Kami menerapkan pendekatan persuasif dan humanis. Tidak ada senjata api. Kami ingin memastikan unjuk rasa berlangsung damai dan kondusif,” ujar Susatyo kepada media.

Selain menempatkan personel di berbagai titik strategis, kepolisian juga menyiapkan skenario rekayasa lalu lintas secara situasional guna menghindari kemacetan parah di sekitar Senayan.

Apa yang Dipermasalahkan dalam RUU TNI?

Gelombang protes ini muncul akibat kekhawatiran masyarakat terhadap beberapa pasal dalam RUU TNI yang dinilai berpotensi mengancam prinsip demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Salah satu poin utama yang dipersoalkan adalah kemungkinan kembalinya peran militer dalam ranah sipil.

Kelompok mahasiswa dan aktivis menilai bahwa revisi ini bisa membuka celah bagi intervensi militer dalam kehidupan masyarakat sipil, sesuatu yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998.

“Ini ancaman nyata bagi supremasi sipil! Kami tidak ingin kembali ke masa lalu di mana militer punya kuasa penuh atas kehidupan masyarakat!” ujar salah satu orator aksi di atas mobil komando.

Meskipun pemerintah dan DPR telah berulang kali menyatakan bahwa revisi ini tidak akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, namun kecurigaan tetap mengemuka. Banyak pihak khawatir bahwa aturan baru ini bisa digunakan sebagai dasar hukum bagi militer untuk kembali terlibat dalam urusan sipil, seperti di era Orde Baru.dp

BACA JUGA : Amankan Demo RUU TNI, Kapolres Metro Sebut 5.021 Personel Gabungan Tak Dipersenjatai

Minimnya Sosialisasi dan Transparansi, Publik Marah!

Selain soal isi pasal yang kontroversial, massa aksi juga mengecam minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terkait revisi UU TNI ini. Mereka menilai bahwa proses penyusunan dan pembahasan revisi ini dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi publik yang memadai.

“Tidak ada transparansi, tidak ada partisipasi! Ini bukan demokrasi! Ini seperti zaman Orde Baru!” teriak seorang demonstran yang membawa spanduk bertuliskan “Tolak Militerisasi, Jaga Demokrasi!”

Dalam sistem demokrasi, setiap kebijakan strategis—terutama yang berkaitan dengan institusi pertahanan—seharusnya melibatkan publik dalam prosesnya. Namun, banyak mahasiswa dan aktivis menilai bahwa revisi UU TNI ini disusun tanpa melibatkan masyarakat secara luas, sehingga menimbulkan kecurigaan besar.

“Kami hanya tahu RUU ini dari bocoran yang beredar di media! Pemerintah seharusnya membuka diskusi publik, bukan diam-diam membahas aturan yang bisa berdampak besar bagi rakyat,” ujar salah satu perwakilan mahasiswa dari Universitas Indonesia.

DPR dan Pemerintah Berdalih, Tapi Publik Tak Percaya

Di tengah gelombang protes yang semakin besar, pemerintah dan DPR tetap bersikeras bahwa revisi UU TNI ini hanya bertujuan untuk menyesuaikan peran dan fungsi TNI dengan perkembangan zaman.

Mereka menegaskan bahwa tidak ada niatan untuk mengembalikan dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru. Namun, pernyataan tersebut tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran publik.

“Kami mendengar aspirasi masyarakat. Kami pastikan tidak ada pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dalam revisi ini,” ujar salah satu anggota DPR yang tergabung dalam Panitia Kerja RUU TNI.

Namun, pernyataan tersebut justru mendapat reaksi keras dari demonstran. Mereka menilai bahwa janji pemerintah dan DPR hanya sebatas retorika tanpa adanya jaminan nyata dalam draf revisi yang sedang dibahas.

“Buktikan kalau tidak ada ancaman bagi demokrasi! Kalau memang tidak ada masalah, kenapa tidak dibuka ke publik? Kenapa disusun diam-diam?” ujar seorang orator dengan lantang.

Aksi Berlanjut, Publik Menuntut Keterbukaan

Aksi unjuk rasa ini menunjukkan bahwa kesadaran politik masyarakat, terutama mahasiswa, masih sangat kuat. Mereka tidak tinggal diam ketika ada kebijakan yang berpotensi mengancam prinsip-prinsip demokrasi.

Massa aksi menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan tekanan hingga pemerintah dan DPR bersedia membuka dialog yang lebih luas dengan masyarakat sipil.

“Kami menolak diam! Kami akan terus bergerak! Jika RUU ini dipaksakan, kami akan kembali dengan jumlah yang lebih besar!” tegas seorang mahasiswa dari Universitas Trisakti.

Demonstrasi ini bukan sekadar aksi spontan. Ini adalah refleksi dari dynamika demokrasi di Indonesia. Dengan pengamanan yang ketat namun humanis dari aparat gabungan, diharapkan aspirasi masyarakat bisa tersampaikan dengan damai dan didengar oleh pemegang kebijakan.

Kesimpulan: Demokrasi Harus Ditegakkan!

Kasus revisi UU TNI ini sekali lagi membuktikan bahwa transparansi dan keterbukaan dalam proses legislasi sangat penting. Setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus melalui proses yang partisipatif, melibatkan semua elemen masyarakat agar tidak menimbulkan polemik.

Jika pemerintah benar-benar ingin meyakinkan publik bahwa revisi UU TNI ini tidak membahayakan demokrasi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuka ruang dialog yang luas dengan masyarakat. Tanpa itu, gelombang penolakan seperti yang terjadi hari ini akan terus berlanjut.

Ribuan mahasiswa telah turun ke jalan! Ribuan mahasiswa telah menyuarakan penolakan! Ribuan mahasiswa telah menegaskan: Demokrasi harus dijaga, militerisasi harus dicegah!