FYP Media.ID – Pada Rabu, 9 April 2025 – Di balik hiruk-pikuk kampus dan lalu lintas padat Tangerang Selatan, ada kisah sunyi yang mungkin luput dari perhatian. Seorang mahasiswi, muda, cerdas, dan tampak baik-baik saja di luar, ternyata menyimpan luka yang dalam. Dalam kurun waktu singkat, ia dua kali mencoba mengakhiri hidupnya. Diduga, tekanan batin akibat perceraian orang tua menjadi salah satu pemicu utamanya.
Percobaan bunuh diri pertama terjadi di lingkungan kampus. Ia berdiri di ketinggian, di atas sebuah gedung, diam, dan nyaris tak bergerak. Untungnya, beberapa teman peka terhadap perubahan sikapnya selama beberapa waktu terakhir. Mereka menghampiri, membujuk, dan akhirnya menyelamatkan nyawa yang sedang berada di ujung tanduk. Tapi belum lama berselang, ia kembali mencoba melukai dirinya sendiri kali ini di kamar kos, sendirian, jauh dari siapa pun yang bisa menolong. Lagi-lagi, takdir berkata lain. Ia ditemukan tepat waktu, dan nyawanya kembali tertolong.
Kisah ini bukan tentang kegagalan, bukan pula tentang kelemahan. Ini tentang bagaimana luka batin bisa tumbuh dalam diam, dan bagaimana satu peristiwa dalam hidup seperti perceraian orang tua bisa mengguncang dunia seseorang hingga terasa runtuh seluruhnya.
Bagi sebagian anak, keluarga adalah fondasi. Ketika fondasi itu goyah, mereka kehilangan arah. Bukan hanya rumah yang terasa hampa, tapi juga rasa aman, tempat berpegangan, dan ruang untuk bersandar. Dalam kasus mahasiswi ini, perceraian orang tua yang tak kunjung selesai secara emosional menjadi titik awal dari spiral kesedihan yang makin hari makin dalam. Ia tak tahu harus bicara kepada siapa. Ia merasa tak ada yang bisa mengerti. Dunia seperti mengecil, dan satu-satunya jalan keluar yang tampak hanyalah mengakhiri semuanya.
Baca Juga : Demo Mahasiswa Aksi Indonesia Gelap 19-20 Februari 2025: Tuntutan BEM SI & Lokasi Aksi
Pihak kepolisian yang menangani kasus ini menyatakan bahwa mereka telah berkoordinasi dengan keluarga dan lembaga terkait agar korban mendapatkan pendampingan psikologis intensif. Langkah cepat ini sangat penting, karena kasus seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kata “sabar” atau “kuat ya.” Ini butuh perhatian, waktu, dan dukungan nyata dari lingkungan sekitar.
Psikolog yang dimintai pendapat menyampaikan bahwa tindakan nekat seperti ini sering kali bukan keinginan untuk mati, tapi jeritan hati yang ingin didengar. Banyak anak muda hari ini menanggung beban besar dalam diam. Mereka tersenyum saat bertemu teman, aktif di kelas, tapi begitu malam tiba dan sepi datang, rasa hampa menyerang tanpa ampun. Mereka membutuhkan seseorang yang mau benar-benar mendengarkan bukan menghakimi, bukan memberi nasihat singkat, tapi hadir secara utuh.
Sayangnya, kita hidup dalam masyarakat yang belum sepenuhnya ramah terhadap isu kesehatan mental. Ketika seseorang menunjukkan tanda-tanda depresi, sering kali ia justru dianggap “lemah,” “kurang iman,” atau “drama.” Padahal, gangguan mental adalah sesuatu yang nyata, dan bisa menyerang siapa pun, tanpa memandang usia, status, atau latar belakang.
Kita semua punya peran. Kita bisa mulai dari hal kecil bertanya dengan tulus, mendengarkan dengan empati, atau sekadar duduk menemani tanpa banyak bicara. Bagi mereka yang sedang berjuang, kehadiran yang tenang sering kali jauh lebih berarti daripada seribu kata bijak.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi para orang tua bahwa setiap keputusan yang diambil, terutama dalam hal perceraian, memiliki dampak besar pada anak. Tidak semua anak bisa dengan mudah menerima perpisahan orang tuanya. Beberapa mungkin terlihat kuat, tapi dalam diam mereka merasa hancur. Komunikasi yang terbuka, dukungan emosional yang konsisten, dan pendampingan psikologis bisa membuat perbedaan besar dalam proses adaptasi anak terhadap perubahan keluarga.
Baca Juga : Dosen UGM Dukung Aksi Tolak Revisi UU TNI, Mahasiswa Diliburkan
Lembaga pendidikan juga memiliki peran penting. Kampus bukan hanya tempat mengejar gelar, tapi juga tempat tumbuh sebagai manusia. Sudah saatnya setiap universitas memiliki layanan konseling yang aktif dan mudah diakses. Tidak sekadar formalitas, tapi benar-benar hadir sebagai tempat aman untuk berbagi. Mahasiswa harus tahu bahwa mereka tidak sendirian, bahwa ada ruang bagi mereka untuk menangis, marah, dan mencari jalan keluar tanpa takut dihakimi.
Media pun memegang tanggung jawab besar dalam memberitakan kasus seperti ini. Identitas korban harus dilindungi, dan pemberitaan harus diarahkan untuk membangun kesadaran, bukan sekadar mencari sensasi. Di balik headline seperti “Percobaan Bunuh Diri” ada manusia, ada hati yang sedang terluka.
Kita tidak pernah tahu perjuangan apa yang sedang dilalui seseorang. Senyum bisa menipu, candaan bisa menyembunyikan tangis. Maka sebelum menilai, mari belajar untuk lebih peduli. Lebih peka. Lebih manusiawi.
Mahasiswi ini beruntung karena masih diberi kesempatan kedua. Tapi tidak semua orang seberuntung itu. Jangan tunggu hingga terlambat untuk peduli. Karena bisa jadi, satu pelukan, satu pesan, atau satu kalimat dari kita, bisa menjadi alasan seseorang untuk tetap bertahan hari ini.