FYPMEDIA.ID – Catcalling, sebagai bentuk pelecehan seksual verbal, telah menjadi fenomena yang marak di masyarakat, termasuk di Indonesia. Fenomena ini sering kali dianggap biasa oleh banyak orang dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi di ruang publik. Mengapa hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena? Karena kejadian tersebut merupakan hal yang nyata dan dapat disaksikan menggunakan panca indra. Fenomena catcalling di Indonesia adalah hal yang telah biasa diterima oleh warga dan dipercaya masuk akal. Masyarakat bersikap biasa saja, seolah tidak mengetahui pengaruh yang diberikan pada korban catcalling. Dalam banyak kasus, pelaku catcalling merasa bebas melakukan tindakan tersebut tanpa takut akan konsekuensi. Salah satu faktor kunci yang mempengaruhi munculnya fenomena ini adalah budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat.
Catcalling artinya pelecehan ekspresi yang dapat diartikan menjadi perbuatan seperti melontarkan istilah-istilah yang bersifat porno atau seksual ataupun bersikap genit, centil, menarik hati, merayu pada orang lain yang mengakibatkan rasa tidak nyaman & tidak aman. Catcalling masuk kedalam perbuatan pelecehan non-fisik lantaran terjadi tanpa persetujuan/ tanpa kesukarelaan. Dalam melakukan catcalling pelaku seringkali melontarkan komentar ataupun siulan yang menghina dan melecehkan korban. Catcalling dapat dilakukan karena berbagai alasan, seperti karena kebosanan, atau bertujuan untuk menyinggung dan merendahkan objek yang mayoritas dialami oleh perempuan.
Patriarki adalah sistem sosial di mana laki-laki memegang otoritas utama dan memiliki peran dominan dalam struktur politik, moral, dan sosial. Dalam sistem ini, perempuan sering kali ditempatkan pada posisi subordinat. Budaya patriarki menanamkan pemikiran bahwa tubuh perempuan adalah objek yang dapat dinilai, dihakimi, atau bahkan dimiliki oleh laki-laki. Pola pikir ini menjustifikasi berbagai tindakan pelecehan, termasuk catcalling, sebagai bentuk kuasa laki-laki atas perempuan.
Dalam masyarakat yang masih menganut budaya patriarki, tindakan catcalling seringkali dipandang sepele atau sebagai bagian dari interaksi sosial yang wajar. Bagi sebagian laki-laki catcalling dianggap sebagai cara untuk menunjukkan dominasi, memvalidasi maskulinitas, atau bahkan bentuk “pujian” terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patriarki menormalkan tindakan pelecehan seksual ini dan justru menyalahkan korban (victim blaming). Seperti halnya masih menyalahkan cara korban berpakaian yang seolah memancing pelaku untuk melakukan catcalling.
Budaya patriarki tidak hanya menyebabkan, tetapi juga mempertahankan keberadaan fenomena catcalling. Dalam masyarakat yang patriarkal, pelecehan verbal seperti catcalling sering kali tidak dianggap serius oleh hukum atau norma sosial. Perempuan yang melaporkan pelecehan tersebut mungkin diabaikan atau bahkan disalahkan karena dianggap “memancing” perhatian laki-laki melalui penampilan atau perilaku mereka. Selain budaya patriarki, catcalling juga erat kaitannya dengan diskriminasi gender.
Diskriminasi gender muncul karena budaya patriarki yang terjadi di masyarakat. Etika pergaulan yang dimaksud ialah tata krama dalam pergaulan yang sesuai dengan situasi dan keadaan serta tidak melanggar norma-norma yang berlaku baik norma agama, kesopanan, adat, hukum dan HAM. Hal ini membuat sistem patriarki tadi menguatkan posisi laki-laki namun merendahkan perempuan dan apabila sudah ada diskriminasi, maka dikhawatirkan posisi perempuan semakin rawan menjadi korban pelecehan seksual.
Sementara itu, pelaku catcalling sering kali tidak dihukum, yang menciptakan rasa kebal hukum dan memperkuat pandangan bahwa pelecehan verbal ini adalah tindakan yang wajar dan dapat diterima. Adapun, perlindungan hukum terhadap korban catcalling saat ini diberikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (HAM) dan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Bagi pelaku catcalling di Indonesia pada awalnya pelaku catcalling di Indonesia sangat menantang untuk menghadapi tuntutan hukum karena ketentuan undang-undang tidak secara khusus mendefinisikan catcalling, namun dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, kesulitan tersebut telah teratasi karena dalam pasal 4 ayat 1 butir (a) khusus menyebutkan pelecehan seksual non fisik, dan ayat 2 butir (d) menyatakan bahwa perbuatan yang melanggar kesusilaan terhadap hak korban. Selain itu, kurangnya edukasi tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan di banyak masyarakat menambah sulitnya mengatasi fenomena ini.
Upaya mengatasi catcalling yaitu dengan adanya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelecehan verbal. Meskipun sulit untuk menghapus sepenuhnya catcalling melalui hukum, beberapa negara mulai mengambil langkah untuk mengurangi fenomena ini melalui pendidikan dan kampanye kesadaran publik. Di Inggris misalnya, upaya pemerintah untuk memasukkan pendidikan tentang hubungan dan seksualitas di sekolah-sekolah adalah salah satu langkah preventif untuk menantang norma-norma patriarkal ini di usia dini. Untuk mengatasi fenomena catcalling, penting untuk mengubah paradigma sosial yang didasarkan pada patriarki. Edukasi mengenai kesetaraan gender dan hak-hak perempuan harus dimulai sejak dini di sekolah dan masyarakat.
Fenomena catcalling adalah dampak nyata dari budaya patriarki yang mengakar kuat di banyak masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolektif untuk mengubah pandangan sosial tentang peran dan hak perempuan, serta penegakan hukum yang lebih tegas terhadap tindakan pelecehan verbal. Hanya dengan cara ini, perempuan dapat merasa lebih aman dan dihargai dalam ruang publik.