Waspada! 5 Risiko Korupsi Koperasi Merah Putih Rp240 T – Ombudsman & KPK Siaga

Koperasi Merah Putih Rp240 T: Harapan Ekonomi Desa atau Potensi Korupsi Baru?

Koperasi Merah Putih Rp240 T: Harapan Ekonomi Desa atau Potensi Korupsi Baru?Siaga

FYPMedia.ID – Program Koperasi Desa Merah Putih yang digagas pemerintah untuk memperkuat ekonomi pedesaan mulai menimbulkan kekhawatiran serius dari sejumlah pihak. Ombudsman RI memperingatkan potensi korupsi besar-besaran, mengingat skala program ini sangat masif — ditargetkan membentuk 80.000 koperasi desa dalam waktu relatif singkat dengan total dana mencapai Rp240 triliun.

Program yang diinisiasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) ini memang ambisius. Setiap koperasi akan mendapat pinjaman modal hingga Rp3 miliar, bersumber dari dana APBN, APBD, dan Dana Desa. Namun besarnya anggaran publik ini justru dinilai rawan disalahgunakan apabila tak diawasi secara ketat.

Baca Juga: Terbongkar Bos Sritex Jadi Tersangka Korupsi Kredit Bank Rp 692 Miliar, Negara Rugi Besar

1. Dana Jumbo, Risiko Jumbo

Menurut anggota Ombudsman RI, Dadan Suharmawijaya, skala dan nilai dana yang digelontorkan sangat besar, dan itu menjadi celah potensial terjadinya penyimpangan.

“Potensi korupsi pasti besar, karena maladministrasi dan sistem pengawasan yang belum siap,” ujarnya dalam diskusi publik, Kamis (12/6/2025).

Ombudsman menyoroti bahwa tanpa transparansi, akuntabilitas, serta keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, dana miliaran rupiah per unit koperasi ini dapat menjadi bancakan kelompok tertentu.

2. Maladministrasi Jadi Pintu Masuk Penyimpangan

Dadan menyebutkan bahwa masalah bukan hanya terletak pada dana besar, melainkan juga pada maladministrasi sistemik di tingkat pelaksanaan. Salah satunya adalah kurangnya partisipasi masyarakat desa, serta ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM) yang akan mengelola koperasi.

“Koperasi bukan sekadar dibentuk, tapi harus punya SDM yang memahami tata kelola yang baik dan bebas konflik kepentingan. Kalau tidak, koperasi hanya jadi papan nama,” tambahnya.

Beberapa daerah disebut belum memiliki struktur pendukung yang layak, apalagi infrastruktur digital untuk manajemen koperasi modern.

3. Kejaksaan & KPK Diminta Turun Sejak Awal

Menyikapi kekhawatiran tersebut, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyatakan bahwa pihaknya telah menggandeng Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawal pelaksanaan program koperasi ini sejak tahap awal.

Budi Arie menyebut bahwa telah ada rapat koordinasi lintas lembaga dan penyusunan nota kesepahaman (MoU) terkait pendampingan hukum, pencegahan korupsi, hingga evaluasi rutin terhadap proses pengoperasian koperasi desa.

4. Transparansi & Edukasi Antikorupsi dari KPK

KPK menyambut baik inisiatif Kemenkop UKM tersebut. Dalam audiensi resmi di Gedung Merah Putih KPK, Budi Arie meminta agar koperasi desa dibekali dengan sistem pengendali gratifikasi, serta diikutsertakan dalam program edukasi antikorupsi, termasuk bagi para pengurus dan pengawas koperasi.

Langkah ini dinilai penting untuk membangun kultur integritas dari bawah, bukan hanya pengawasan dari atas. KPK juga mendorong adanya pelibatan masyarakat sipil dan audit publik agar pengawasan berjalan dua arah.

5. Ketimpangan SDM dan Tumpang Tindih Regulasi

Selain faktor internal koperasi, Ombudsman dan sejumlah pengamat menyebut masih ada ketimpangan SDM antar daerah dan tumpang tindih regulasi. Di beberapa wilayah, misalnya, sudah lebih dulu berdiri BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang perannya mirip dengan koperasi, sehingga bisa memunculkan konflik administratif dan operasional.

Untuk itu, diperlukan roadmap zonasi dan sinkronisasi kebijakan agar tidak terjadi duplikasi program yang justru membingungkan perangkat desa dan masyarakat.

6. 80.000 Koperasi: Antara Rekor Dunia dan Risiko Kegagalan

Program Koperasi Merah Putih ini menjadi langkah berani yang belum pernah dilakukan negara manapun. Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang berencana membangun 80.000 koperasi desa dalam satu periode pemerintahan.

Namun keberanian ini menimbulkan tanda tanya: apakah desa-desa benar-benar siap?
Survei dari Celios (Center of Economic and Law Studies) menemukan bahwa 65% perangkat desa merasa ragu atas keberhasilan program ini. Mereka khawatir pendekatannya yang “top-down”, mirip seperti masa Orde Baru dengan KUD (Koperasi Unit Desa), hanya mengganti nama tanpa perubahan sistematis.

7. Ombudsman: Jangan Sekadar Gagah di Atas Kertas

Ombudsman mengingatkan bahwa semangat pembangunan koperasi tidak boleh hanya berhenti di atas dokumen perencanaan. Justru tantangan terbesar ada di implementasi lapangan, yang melibatkan ribuan pengurus, ribuan desa, dan interaksi langsung dengan dana publik dalam jumlah besar.

“Potensi negatifnya harus dicegah sebelum terjadi, bukan setelah,” tegas Dadan.
“Jangan sampai program ini menjadi jalan baru korupsi berjamaah atas nama pemberdayaan desa.”

8. Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang?

Untuk meminimalisasi risiko penyimpangan, ada beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan pemerintah dan masyarakat:

  • Perluas Partisipasi Masyarakat
    Koperasi tidak bisa eksklusif dikelola segelintir orang desa. Harus ada keterlibatan aktif dari warga dalam pengawasan dan evaluasi.

  • Perkuat SDM dan Literasi Tata Kelola
    Pelatihan intensif dan berkelanjutan perlu diberikan, tidak hanya sekali dan formalitas.

  • Audit Independen & Sistem Pelaporan Terbuka
    Audit tahunan oleh lembaga independen dan mekanisme pengaduan publik wajib tersedia secara transparan.

  • Publikasi Anggaran Terbuka
    Dana publik sebesar Rp240 triliun harus bisa diakses dan dimonitor oleh masyarakat, termasuk via platform digital.

Momen Emas atau Bumerang Nasional?

Koperasi Merah Putih berpotensi menjadi kekuatan ekonomi baru di desa, tapi juga bisa menjadi skandal korupsi besar berikutnya jika sistemnya tidak diperkuat sejak awal.

Baca Juga: Anggaran Atlet Dikorupsi? KPK Bongkar Berkas KONI 2017–2022

Program ini membutuhkan transparansi, pengawasan ketat, dan integritas semua pihak agar tidak berujung pada ironi: membantu rakyat dengan cara merugikan negara.

Seperti kata Ombudsman, program ini harus dikawal agar benar-benar menyelesaikan masalah rakyat desa — bukan malah menciptakan lingkaran setan korupsi model baru.