FYPMedia.id – Kasus penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya Dini Sera Afrianti oleh Gregorius Ronald Tannur terus menjadi sorotan. Keputusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menjatuhkan hukuman lima tahun penjara bagi Ronald menimbulkan polemik, terutama perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Ketua Majelis Hakim, Soesilo.
Hal tersebut diketahui dari salinan putusan lengkap putusan kasasi Ronald Tannur nomor 1466 K/Pid/2024 yang diunggah oleh MA ke situsnya pada Senin (9/12/2024).
“Menimbang bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dissenting opinion dalam musyawarah Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 30 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, perbedaan pendapat dissenting opinion dari Hakim Agung pada Mahkamah Agung Soesilo,” demikian tertulis dalam salinan putusan, Selasa (10/12/2024).
Menurut Soesilo, alasan kasasi yang diajukan oleh jaksa menyebutkan bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya tidak menerapkan hukum dengan benar.
Namun, ia menilai argumen tersebut tidak dapat diterima. Soesilo menyatakan bahwa majelis hakim PN Surabaya yang terdiri atas Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo telah menjalankan tugas mereka sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana dan tidak melakukan kesalahan dalam penerapan hukum.
Kasus ini menimbulkan polemik, terutama adanya perbedaan pendapat (disseting opinion) dari Soesilo sebagai Ketua Majelis Hakim. Berikut lima fakta penting dari kasus ini yang berhasil dirangkum:
Baca juga: 5 Fakta Penting: Polisi Penembakan Siswa SMK di Semarang Jadi Tersangka dan Dipecat
-
Vonis Bebas Berubah Jadi Hukuman Penjara 5 Tahun
Pada awalnya, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memutuskan Ronald bebas.
Namun, keputusan tersebut dianulir oleh MA menjadi hukuman lima tahun penjara. Dua hakim kasasi, Ainal Mardhiah dan Sutarjo, sepakat bahwa Ronald terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian.
“Menyatakan bahwa Terdakwa Gregorius Ronald Tannur anak dari Edward Tannur telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘penganiayaan mengakibatkan mati’. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 tahun,” ujar hakim sebagaimana dilansir dari detikcom.
-
Dissenting Opinion Ketua Majelis Hakim Soesilo
Dalam salinan putusan yang diunggah MA, Ketua Majelis Hakim Soesilo berpendapat vonis bebas PN Surabaya terhadap Ronald sudah tepat.
Ia menyatakan bukti yang ada, termasuk visum dan rekaman CCTV, tidak cukup kuat untuk membuktikan Ronald sebagai pelaku.
Soesilo menyebut hasil visum itu tak dengan jelas menunjukkan Ronald Tannur sebagai pelaku yang menyebabkan tewasnya Dini Sera.
“Meskipun terdapat visum et repertum yang menjelaskan kematian Dini Sera Afrianti, namun hasil visum et repertum tersebut tidak serta-merta menyatakan Terdakwalah sebagai pelaku perbuatan terhadap Dini Sera Afrianti, apalagi sampai adanya dugaan Terdakwa melindas tubuh Dini Sera Afrianti sebagai penyebab meninggalnya Dini Sera Afrianti karena tidak ada alat bukti yang dapat membuktikan dugaan tersebut,” ujarnya.
Soesilo juga menyoroti kurangnya bukti alat hukum yang menunjukkan Ronald sengaja melindas korban, seperti yang dituduhkan oleh jaksa.
Baca juga: Kedubes Iran di Suriah Diserang: Jatuhnya Rezim Assad Memicu Kekacauan Besar
-
Tersangka Suap Vonis Bebas Melibatkan Ibu Ronald
Dugaan suap dalam vonis bebas PN Surabaya mengungkap keterlibatan enam tersangka, termasuk ibu Ronald, Meirizka Widjaja.
Alur kasus ini menunjukkan adanya makelar kasus yang mengatur suap kepada hakim.
Alur perkara secara singkat, yaitu Meirizka meminta bantuan Lisa agar anaknya, Ronald Tannur, divonis bebas.
Lisa lantas berkomunikasi dengan Zarof yang kemudian dihubungkan ke tiga hakim yang mengadili Ronald Tannur di PN Surabaya hingga terjadilah dugaan suap-menyuap tersebut.
-
Uang Rp5 Miliar untuk Hakim Agung
Kejaksaan Agung menemukan adanya persiapan uang sebesar Rp5 miliar sebagai bagian dari skema suap.
Namun, hingga kini belum ada kejelasan apakah uang tersebut telah diberikan oleh Zarof selaku makelar kasus atau belum.
Mahkamah Agung (MA) telah melakukan evaluasi terhadap majelis hakim yang mengurus kasasi Gregorius Ronald Tannur.
Hasilnya, MA menegaskan bahwa tiga Hakim Agung dalam majelis tersebut tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
“Dari pemeriksaan, tidak ditemukan pelanggaran KEPPH yang dilakukan oleh Majelis Kasasi Perkara Nomor 1466/K/PID/2024, sehingga kasus dinyatakan ditutup,” kata juru bicara MA, Yanto, di gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (18/11/2024).
Baca juga: Kasus Korupsi Timah: Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara dan Rp 210 Miliar
-
MA Tidak Menemukan Pelanggaran Etik Hakim Kasasi
Majelis kasasi yang mengadili Ronald Tannur terdiri atas tiga Hakim Agung, yaitu Soesilo sebagai Ketua Majelis, serta Ainal Mardhiah dan Sutarjo sebagai anggota.
Menurut Yanto, pemeriksaan intensif terhadap kasus ini dilakukan dari 4 hingga 12 November 2024 di dua lokasi, yakni Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
Namun, Yanto mengungkapkan bahwa Zarof Ricar sempat bertemu dengan Hakim Agung Soesilo. Pertemuan tersebut terjadi dalam acara pengukuhan guru besar di Universitas Negeri Makassar (UNM) pada 27 September 2024.
Zarof juga sempat menyinggung kasus Ronald Tannur kepada Soesilo, tetapi hal tersebut tidak mendapatkan tanggapan.
Meski keputusan MA menuai kontroversi, pemeriksaan internal menyatakan tidak ada pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) oleh tiga Hakim Agung yang menangani kasasi Ronald.
“Dari pemeriksaan, tidak ditemukan pelanggaran KEPPH yang dilakukan oleh Majelis Kasasi Perkara Nomor 1466/K/PID/2024 sehingga kasus dinyatakan ditutup,” kata Yanto, juru bicara MA.
Kasus Ronald Tannur mencerminkan kompleksitas sistem peradilan di Indonesia, mulai dari perbedaan pendapat di pengadilan hingga dugaan suap yang melibatkan berbagai pihak.
Masyarakat menantikan perkembangan lebih lanjut, termasuk langkah tegas penegak hukum dalam memberantas praktik korupsi di lembaga peradilan.