5 Anggota DPR ‘Dinonaktifkan’: Bongkar Fakta, UU MD3, dan Drama Politik 3 Partai

5 Anggota DPR ‘Dinonaktifkan’

FYP Media.ID – Pendahuluan: Gelombang Kritik, Respon Kilat

Gelombang kritik publik akibat pernyataan kontroversial beberapa anggota DPR RI memicu aksi cepat dari partai politik. Lima nama besar dinyatakan “dinonaktifkan” oleh partai masing-masing—langkah ini menimbulkan banyak pertanyaan.

Kelima anggota DPR yang dimaksud adalah:

  • Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari NasDem

  • Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN

  • Adies Kadir, Wakil Ketua DPR dari Golkar

Mereka dinilai melukai hati rakyat karena pernyataan mereka soal tunjangan DPR yang viral di media sosial. Tapi, muncul perdebatan soal keabsahan istilah “nonaktif”. Apakah mereka benar-benar kehilangan status anggota DPR? Mari kita telaah dari sisi hukum, etik, dan politik.

1. Istilah “Nonaktif” Tak Tertulis di UU MD3

Menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), khususnya peneliti Lucius Karus, tidak ada dasar hukum penggunaan istilah “nonaktif” bagi anggota DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Lucius menyatakan:

“Istilah ‘nonaktif’ tidak dikenal dalam sistem hukum parlemen. Ini hanya bentuk reaksi cepat partai terhadap tekanan publik, bukan tindakan hukum formal.”

Dengan kata lain, partai memang bisa menarik anggotanya dari kegiatan fraksi atau komisi, tetapi secara hukum mereka masih aktif sebagai anggota DPR.

2. Masih Dapat Gaji dan Fasilitas DPR

Satu fakta mengejutkan: meskipun “dinonaktifkan”, kelima anggota DPR tersebut tetap menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lengkap. Sebab, status keanggotaannya belum dicabut secara resmi melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Lucius menambahkan:

“Secara teknis, mereka tidak bekerja, tapi tetap mendapatkan semua hak sebagai wakil rakyat. Ini sama saja seperti diliburkan tapi tetap digaji.”

3. PAW: Satu-Satunya Mekanisme Legal Pemberhentian

Sesuai UU MD3 Pasal 239 dan 240, PAW adalah satu-satunya mekanisme sah untuk mengganti anggota DPR. Syarat-syarat PAW antara lain:

  • Meninggal dunia

  • Mengundurkan diri

  • Terbukti melakukan pelanggaran berat (pidana ≥5 tahun)

  • Melanggar sumpah/janji jabatan

  • Berhenti karena keputusan partai politik

Tanpa PAW, maka status anggota DPR masih melekat sepenuhnya. Penonaktifan secara internal oleh partai tidak serta-merta menghilangkan status keanggotaannya di DPR.

4. Titi Anggraini: “Tidak Ada Istilah Nonaktif di DPR”

Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, juga menegaskan bahwa “penonaktifan” hanya berlaku dalam konteks Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bukan untuk anggota biasa.

“Kalau ada pelanggaran, semestinya partai memproses PAW. Istilah ‘nonaktif’ ini justru memperlihatkan ketidaktegasan partai terhadap kadernya yang bermasalah.”

Titi menyarankan agar partai berhenti menggunakan istilah yang tidak sah secara hukum, agar masyarakat tidak bingung terhadap status wakil rakyatnya.

5. Ketua Banggar DPR: “Mereka Masih Terima Gaji”

Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah (Fraksi PDIP), mempertegas bahwa istilah “nonaktif” tidak tertulis dalam Tata Tertib DPR maupun UU MD3.

“Secara teknis, mereka tetap anggota DPR. Tidak ada dasar untuk menahan gaji atau fasilitas mereka.”

Pernyataan ini makin memperjelas bahwa langkah partai hanyalah drama politik internal yang tidak memiliki konsekuensi legal.

6. Kenapa Tidak Langsung PAW?

Ada beberapa alasan mengapa partai tidak langsung memproses PAW terhadap kelima kader ini:

  1. Belum ada pelanggaran hukum berat

    • Meski kontroversial, pernyataan mereka tidak melanggar hukum pidana.

  2. Partai tidak ingin kehilangan kursi DPR

    • PAW artinya mengorbankan kader di posisi strategis, yang mungkin belum ada penggantinya.

  3. Tekanan publik bersifat emosional

    • Kritik dan demo adalah respons publik, bukan proses hukum formal.

Namun, jika partai serius ingin menghukum kadernya, mereka harus mengajukan PAW secara formal, bukan sekadar “penonaktifan” simbolik.

7. Publik Jangan Tertipu Istilah

Menggunakan kata “nonaktif” memberikan kesan seolah-olah ada konsekuensi berat yang diterima anggota DPR tersebut. Padahal, realitanya mereka hanya “direhatkan” dari sorotan publik tanpa konsekuensi struktural.

Lucius Karus menyebutnya:

“Ini cara partai meredam kemarahan publik, bukan bentuk akuntabilitas sejati.”

8. Apakah Ini Citra Politik Semata?

Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak keputusan partai saat ini hanya bersifat “damage control” untuk menyelamatkan citra, bukan berdasarkan prinsip integritas atau tanggung jawab publik.

Jika partai hanya ingin terlihat cepat merespons, tanpa berani mengambil langkah hukum yang benar, maka publik berhak mempertanyakan:

  • Apakah partai masih mengedepankan akuntabilitas politik?

  • Apakah wakil rakyat masih layak disebut “representatif” jika tidak bisa disanksi?

9. Kesimpulan: Antara Simbol dan Substansi

Aspek Fakta
Status DPR Masih aktif secara hukum
Istilah “nonaktif” Tidak sah dalam UU MD3 (kecuali MKD)
Gaji dan tunjangan Tetap diterima penuh
Konsekuensi hukum Tidak ada, tanpa PAW
Respons partai Simbolik, bukan substantif

10. Rekomendasi untuk Masyarakat

  • Waspadai istilah politik yang menyesatkan persepsi hukum.

  • Desak partai untuk lebih tegas dan konsisten jika ingin dihormati.

  • Dorong reformasi hukum parlemen agar lebih transparan dan akuntabel.

  • Jangan puas hanya dengan “dinonaktifkan”—tuntut kejelasan status hukum.