FYP Media.ID – Pada Jumat, 2 Mei 2025 – Di tengah harapan ribuan pelajar yang tengah berjuang menembus pintu masuk perguruan tinggi negeri, sebuah kabar mengejutkan datang dari Universitas Sumatera Utara (USU). Seorang pria muda, berpakaian rapi dan tampak percaya diri, duduk di ruang ujian Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) seperti peserta lainnya. Namun, tak ada yang menyangka bahwa ia bukanlah peserta sah. Ia adalah seorang joki, dibayar untuk menyamar dan mengerjakan ujian demi orang lain.
Kasus ini terbongkar pada Senin, 29 April 2025. Petugas keamanan kampus mencurigai gerak-gerik pria tersebut yang tampak gelisah dan tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang identitasnya. Setelah diperiksa, ia mengaku bahwa dirinya hanyalah “pengganti bayaran” yang dijanjikan uang sebesar Rp10 juta jika berhasil membuat kliennya lolos masuk USU.
Sepintas, ini hanya satu dari sekian kasus kecurangan dalam ujian masuk perguruan tinggi. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, ini adalah potret nyata dari krisis moral yang tengah menggerogoti dunia pendidikan kita. Di balik angka sepuluh juta rupiah, tersembunyi kompromi terhadap nilai-nilai kejujuran, integritas, dan perjuangan.
Modus seperti ini bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, praktik joki UTBK berkembang menjadi bisnis gelap yang cukup terorganisir. Mereka menyediakan jasa lengkap: dari pemalsuan identitas, pelatihan menyamar, hingga strategi menjawab soal. Bahkan, tak jarang para joki ini adalah mahasiswa cerdas dari kampus ternama yang rela menjual kemampuan akademiknya untuk uang cepat.
Mengapa ini bisa terjadi? Banyak pihak percaya bahwa tekanan menjadi faktor utama. Setiap tahun, jutaan siswa bersaing memperebutkan kursi di universitas impian. Keluarga menaruh harapan besar, sekolah menuntut prestasi, dan lingkungan sosial menilai kesuksesan dari logo kampus di jaket almamater. Dalam situasi seperti itu, sebagian orang tergoda mengambil jalan pintas asal hasilnya sesuai harapan, prosesnya tak lagi penting.
Namun, ketika jalan pintas itu ditempuh dengan cara curang, yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan pribadi, melainkan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan itu sendiri. Bayangkan, jika seseorang masuk universitas dengan bantuan joki, apakah ia benar-benar siap menjalani kehidupan akademik yang sesungguhnya? Apakah nilai-nilai yang ia pelajari di bangku kuliah akan bermakna jika sejak awal ia mengkhianati prosesnya?
Pihak USU tak tinggal diam. Setelah membongkar penyamaran tersebut, mereka langsung menyerahkan pelaku ke kepolisian dan mengumumkan bahwa peserta yang menggunakan jasa joki akan didiskualifikasi dari seluruh tahapan seleksi. Langkah tegas ini patut diapresiasi, karena menunjukkan komitmen kampus untuk menjaga kualitas dan kejujuran dalam penerimaan mahasiswa.
Baca Juga : Kolaborasi FYP Media dan Universitas Widyatama Dukung UMKM untuk Tingkatkan Kreativitas
Namun, menyelesaikan masalah ini tak cukup hanya dengan hukuman. Diperlukan upaya yang lebih menyentuh akar. Pendidikan harus kembali menjadi ruang pembentukan karakter, bukan hanya tempat berburu gelar. Kita perlu membangun budaya yang menghargai proses, memberi ruang bagi kegagalan, dan menumbuhkan rasa percaya bahwa kesuksesan sejati tak harus diraih lewat jalan pintas.
Lebih dari itu, orang tua, guru, dan sekolah memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir siswa. Mereka perlu menanamkan bahwa gagal UTBK bukan berarti gagal hidup. Dunia tidak berakhir hanya karena tidak lolos di kampus negeri. Masih banyak jalan, masih banyak kesempatan, asalkan ditempuh dengan cara yang benar dan jujur.
Pemerintah dan lembaga penyelenggara seleksi nasional juga perlu terus menyempurnakan sistem. Penggunaan teknologi biometrik, verifikasi dua langkah, dan pengawasan berbasis AI bisa menjadi langkah antisipatif terhadap modus seperti ini. Namun, secanggih apa pun sistemnya, jika mentalitas curang masih dianggap biasa, maka celah akan selalu dicari dan ditemukan.
Kasus joki UTBK di USU adalah pengingat bagi kita semua bahwa dunia pendidikan bukan sekadar soal nilai akademik, tetapi soal nilai hidup. Ketika satu orang berhasil masuk lewat cara curang, maka satu tempat terampas dari mereka yang benar-benar berjuang. Dan saat itu terjadi, sistem menjadi tidak adil, dan kepercayaan publik pun terancam hilang.
Baca Juga : Doa Bersama Mahasiswa PSPA 34 Universitas Perintis Indonesia di Panti Asuhan
Mari kita belajar dari kasus ini, bukan hanya untuk mengutuk pelaku, tetapi untuk berbenah bersama. Mulailah dari lingkungan terkecil: dari keluarga, sekolah, hingga ruang-ruang diskusi publik. Tumbuhkan kembali rasa bangga terhadap kejujuran, meski hasilnya tak selalu gemilang. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang siapa yang masuk ke kampus, tapi siapa yang keluar darinya dengan karakter yang utuh.