Trump Cabut Status Hukum 530 Ribu Imigran dari Kuba hingga Haiti, Picu Kontroversi Besar

Trump Cabut Status Hukum 530 Ribu Imigran dari Kuba hingga Haiti, Picu Kontroversi Besar

FYP Media.id – Pada Tanggal 22 Maret 2025 – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali membuat gebrakan besar dalam kebijakan imigrasi dengan mencabut status hukum lebih dari 530 ribu imigran dari berbagai negara, termasuk Kuba, Haiti, Nikaragua, dan Venezuela. Langkah ini diumumkan pada Jumat (21/3/2025) melalui memorandum resmi Gedung Putih, yang menyatakan bahwa status perlindungan sementara (Temporary Protected Status/TPS) serta izin tinggal kemanusiaan yang diberikan kepada ratusan ribu imigran dari kawasan tersebut akan segera dihentikan.

Kebijakan ini langsung menuai pro dan kontra. Pendukung Trump menilai langkah ini sebagai upaya menegakkan hukum imigrasi yang lebih ketat dan melindungi kepentingan nasional. Namun, kelompok hak asasi manusia serta partai oposisi mengecam keputusan ini sebagai tindakan tidak manusiawi yang akan memperburuk krisis kemanusiaan di beberapa negara asal para imigran.

Keputusan Trump ini memengaruhi sekitar 530 ribu imigran yang selama ini tinggal di AS dengan perlindungan hukum dari pemerintah. Sebagian besar dari mereka berasal dari Kuba, Haiti, Nikaragua, dan Venezuela, negara-negara yang mengalami ketidakstabilan politik, bencana alam, serta krisis ekonomi berkepanjangan. Banyak dari imigran ini telah hidup di AS selama bertahun-tahun, membangun keluarga, dan berkontribusi pada perekonomian negara melalui berbagai sektor pekerjaan.

Baca Juga : kebijakPrabowo Resmikan ‘Shenzhen’ Indonesia: Investasi Rp 60 Triliun & Ribuan Lapangan Kerjaan

Bagi warga Kuba, ini memiliki dampak yang lebih signifikan mengingat hubungan historis antara AS dan negara tersebut. Selama beberapa dekade, banyak warga Kuba yang melarikan diri ke AS akibat rezim komunis di negara asal mereka. Dengan pencabutan status hukum ini, ribuan imigran Kuba yang sebelumnya memiliki perlindungan akan menghadapi ancaman deportasi.

Selain itu, imigran dari Haiti yang menerima status perlindungan akibat gempa bumi dahsyat pada 2010 kini terancam kehilangan tempat tinggal mereka di AS. Banyak dari mereka yang telah bekerja dan memiliki keluarga di negara ini. Dengan kebijakan baru ini, banyak keluarga yang akan tercerai-berai atau harus kembali ke negara asal yang masih mengalami ketidakstabilan.

Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa sistem imigrasi AS tidak dimanfaatkan secara berlebihan.

“Kami tidak bisa terus memberikan perlindungan kepada orang-orang dari negara-negara yang seharusnya sudah bisa menangani masalah mereka sendiri. Amerika Serikat bukan tempat untuk para imigran ilegal yang ingin mendapatkan keuntungan dari sistem kami tanpa memberikan kontribusi yang nyata,” ujar Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih.

Baca Juga : Ancaman Penyitaan Aset KBRI di Prancis, Dampak Sengketa Kasus Navayo

Trump juga menyebut bahwa kebijakan ini adalah bagian dari langkah lebih besar untuk mengamankan perbatasan AS dan mengurangi imigrasi ilegal. Menurutnya, banyak dari mereka yang diberikan perlindungan hukum ini tidak lagi memiliki alasan yang sah untuk tinggal di AS karena kondisi di negara asal mereka sudah membaik.

Langkah ini langsung mendapatkan kritik tajam dari kelompok hak asasi manusia, aktivis imigrasi, serta Partai Demokrat. Mereka menilai bahwa kebijakan ini tidak mempertimbangkan kondisi nyata di negara-negara asal para imigran dan hanya akan memperburuk penderitaan mereka.

“Keputusan ini tidak hanya tidak manusiawi, tetapi juga tidak masuk akal. Banyak dari imigran yang terdampak telah tinggal di AS selama lebih dari satu dekade, membangun kehidupan, dan berkontribusi pada masyarakat. Memulangkan mereka ke negara asal yang masih dalam kondisi tidak stabil adalah tindakan yang kejam,” kata Alejandro Mayorkas, mantan Menteri Keamanan Dalam Negeri di era pemerintahan Biden.

Para anggota Partai Demokrat juga mengecam keputusan Trump ini sebagai langkah politik untuk memuaskan basis pendukungnya yang anti-imigrasi menjelang pemilihan presiden 2028. Mereka menilai bahwa kebijakan ini bisa menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang besar, terutama di komunitas yang memiliki populasi imigran yang tinggi.

Selain dampak kemanusiaan, kebijakan ini juga diprediksi akan memberikan pengaruh besar terhadap ekonomi AS. Banyak imigran yang terdampak bekerja di sektor-sektor penting seperti pertanian, konstruksi, dan layanan kesehatan. Dengan hilangnya tenaga kerja dari kalangan imigran ini, beberapa industri dapat mengalami kekurangan tenaga kerja, yang pada akhirnya dapat memengaruhi perekonomian secara keseluruhan.

Di sisi lain, banyak keluarga yang akan menghadapi perpecahan akibat kebijakan ini. Anak-anak yang lahir di AS dari orang tua imigran yang terdampak akan menghadapi ketidakpastian mengenai masa depan mereka. Beberapa dari mereka mungkin harus tetap tinggal di AS tanpa orang tua mereka, sementara yang lain harus meninggalkan negara yang telah menjadi rumah mereka sejak lahir.

Saat ini, berbagai kelompok advokasi imigran sedang bersiap untuk menggugat keputusan ini di pengadilan. Mereka berencana untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Agung jika diperlukan, dengan harapan dapat membatalkan kebijakan tersebut atau setidaknya mendapatkan perlindungan hukum bagi para imigran yang terdampak.

Selain itu, beberapa negara bagian yang dipimpin oleh gubernur dari Partai Demokrat, seperti California dan New York, telah menyatakan niat mereka untuk memberikan perlindungan tambahan kepada imigran yang terdampak. Mereka berencana untuk memperkenalkan kebijakan yang memungkinkan para imigran ini tetap tinggal di AS melalui jalur hukum lain, seperti izin kerja atau program suaka politik.

Meskipun demikian, dengan Trump yang saat ini masih memiliki kendali penuh atas kebijakan imigrasi federal, kemungkinan besar kebijakan ini akan tetap berlaku dalam waktu dekat. Para imigran yang terdampak pun kini harus mencari opsi terbaik untuk menghindari deportasi dan memastikan masa depan mereka di AS.

Pencabutan status hukum bagi lebih dari 530 ribu imigran oleh Presiden Donald Trump merupakan salah satu kebijakan imigrasi paling kontroversial dalam beberapa tahun terakhir. Langkah ini tidak hanya berdampak pada kehidupan individu yang terdampak tetapi juga berpotensi mengubah dinamika sosial dan ekonomi di AS.

Sementara para pendukung Trump melihat kebijakan ini sebagai langkah tegas dalam menegakkan hukum imigrasi, pihak oposisi dan kelompok hak asasi manusia mengecamnya sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Dengan kemungkinan adanya tantangan hukum serta perlawanan dari pemerintah negara bagian yang pro-imigran, kebijakan ini masih bisa mengalami perubahan di masa depan. Namun, untuk saat ini, ratusan ribu imigran menghadapi ketidakpastian besar mengenai masa depan mereka di Amerika Serikat.