FYP Media.ID – Jum’at, 23 Mei 2025 – Tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu masalah kesehatan paling serius di Indonesia. Penyakit menular yang menyerang paru-paru ini telah lama menjadi beban masyarakat dan sistem kesehatan nasional. Meskipun telah banyak upaya dilakukan untuk mengurangi penyebaran dan angka kematian akibat TBC, data terbaru menunjukkan bahwa kasus TBC justru mengalami lonjakan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan RI dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan beban TBC tertinggi di dunia, setelah India. Pada tahun 2023 saja, tercatat ada sekitar 1.060.000 kasus TBC baru di Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Data terbaru dari tahun 2024 mencatat bahwa dari estimasi sekitar 1,09 juta kasus TBC, sebanyak 889.000 kasus berhasil ditemukan dan sekitar 90 persen di antaranya mendapatkan pengobatan, baik di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta. Meski jumlah penemuan kasus meningkat berkat perbaikan sistem pelaporan, peningkatan jumlah ini juga menandakan bahwa penyebaran TBC masih menjadi ancaman serius yang belum terkendali.
Baca Juga : Trump Hentikan Pasokan Obat HIV, Malaria, dan TBC untuk Negara Miskin
Terdapat sejumlah faktor utama yang menyebabkan peningkatan kasus TBC di Indonesia, antara lain:
- Perbaikan Sistem Pelaporan dan Deteksi
Salah satu penyebab lonjakan adalah meningkatnya akurasi dalam pelaporan dan deteksi kasus. Pemerintah telah memperbaiki sistem pencatatan, memperbanyak pelatihan tenaga medis, serta memperluas laboratorium diagnosis. Hal ini membuat lebih banyak kasus yang sebelumnya tidak terdata kini terungkap. - Mobilitas Penduduk dan Kepadatan
Mobilitas masyarakat yang tinggi, terutama di kota besar dengan kepadatan penduduk ekstrem, mempercepat penularan TBC antarindividu. TBC mudah menyebar melalui udara ketika penderita batuk atau bersin, sehingga lingkungan padat dan tertutup menjadi tempat ideal penyebaran. - Kondisi Sosial dan Ekonomi
Masyarakat dengan kondisi ekonomi lemah, gizi buruk, serta akses terbatas ke layanan kesehatan cenderung lebih rentan terkena TBC. Selain itu, kurangnya edukasi mengenai bahaya TBC membuat sebagian masyarakat abai terhadap gejala awal dan pengobatan yang tuntas. - PengobatanTidakTuntas dan Resistensi Obat
Banyak pasien yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya, terutama karena merasa sembuh atau terkendala biaya dan jarak ke fasilitas kesehatan. Hal ini dapat menyebabkan TBC kambuh dan berkembang menjadi TBC resisten obat (TBC RO), yang jauh lebih sulit diobati.
Penyakit TBC tidak hanya menyebabkan penderitaan fisik, tetapi juga menimbulkan dampak besar secara sosial dan ekonomi. Diperkirakan setiap jam, 17 orang meninggal karena TBC di Indonesia, dengan total kematian mencapai lebih dari 130 ribu orang per tahun.
Dari sisi ekonomi, TBC menyebabkan penurunan produktivitas masyarakat, meningkatnya pengeluaran keluarga untuk biaya pengobatan, dan beban besar pada sistem kesehatan nasional. Tidak jarang pasien TBC mengalami diskriminasi sosial, dijauhi oleh lingkungan, dan kehilangan pekerjaan karena dianggap sebagai sumber penularan.
Baca Juga : Indonesia Giat Berjuang Melawan TBC: Inovasi Deteksi dan Vaksin Baru untuk Capaian 2030
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dan berbagai mitra global seperti WHO, USAID, serta organisasi non-pemerintah, telah mengintensifkan berbagai program untuk menanggulangi TBC. Di antara upaya yang dilakukan adalah:
- Program TOSS TBC (Temukan, Obati Sampai Sembuh)
Kampanye nasional ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini dan pengobatan tuntas bagi penderita TBC. Petugas kesehatan digerakkan untuk aktif melakukan pelacakan kontak dan edukasi di masyarakat. - Uji Coba Vaksin M72/AS01E
Indonesia menjadi salah satu negara yang dipercaya untuk melakukan uji klinis vaksin TBC terbaru, M72/AS01E. Vaksin ini dikembangkan untuk memberikan perlindungan pada orang dewasa dari TBC paru, dan jika berhasil, akan menjadi game changer dalam penanggulangan TBC secara global. - Peningkatan Kapasitas Layanan Kesehatan
Pemerintah menambah jumlah laboratorium dan fasilitas pengobatan TBC, serta meningkatkan pelatihan bagi tenaga medis untuk mampu menangani TBC dengan lebih profesional dan akurat. - Pemberdayaan Masyarakat
Melibatkan kader kesehatan dan tokoh masyarakat dalam mendeteksi kasus TBC sejak dini di lingkungan mereka menjadi langkah strategis untuk menekan laju penularan.
Meski berbagai langkah telah diambil, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030, sebagaimana komitmen global yang dicanangkan WHO. Beberapa tantangan tersebut antara lain:
- Masih banyak kasus TBC laten yang belum terdeteksi.
- Penanganan TBC resisten obat (TBC RO) masih menghadapi keterbatasan logistik dan obat.
- Stigma dan diskriminasi terhadap penderita TBC masih kuat di masyarakat.
- Perlunya anggaran dan sumber daya manusia yang lebih besar untuk mendukung seluruh lini program eliminasi TBC.
Lonjakan kasus TBC di Indonesia merupakan sinyal darurat bahwa penyakit ini belum terkendali sepenuhnya. Perbaikan sistem pelaporan memang memperlihatkan angka kasus yang lebih tinggi, tetapi hal ini juga menunjukkan bahwa deteksi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun, tanpa penguatan edukasi, peningkatan kualitas layanan kesehatan, dan kesadaran masyarakat, Indonesia akan kesulitan memenuhi target eliminasi TBC pada 2030.
Tuberkulosis bukan hanya masalah medis, tetapi juga persoalan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Diperlukan kerja sama lintas sektor dan komitmen dari semua pihak—pemerintah, swasta, tenaga kesehatan, serta masyarakat—untuk bersama-sama melawan TBC dan mewujudkan Indonesia yang sehat, bebas dari tuberkulosis.