FYPMedia.ID – Semarang memanas! Aksi demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang digelar di depan kompleks DPRD Jawa Tengah berujung ricuh. Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi bentrokan antara massa aksi dan aparat kepolisian. Puncaknya, empat orang peserta aksi ditangkap polisi dengan tuduhan sebagai provokator. Insiden ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah hak demokrasi masyarakat semakin terancam? Apakah kebebasan berpendapat masih dilindungi?
Demonstrasi yang dilakukan oleh Aliansi Semarang Menggugat ini digelar sebagai bentuk protes terhadap revisi UU TNI yang dinilai berpotensi mengancam demokrasi dan hak sipil. Massa yang berjumlah ratusan orang berkumpul di depan kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah sejak pagi, membawa berbagai spanduk dan berorasi menyuarakan tuntutan mereka. Awalnya, aksi berlangsung tertib dan damai, hingga akhirnya ketegangan tak terhindarkan.
Gas Air Mata dan Penangkapan Demonstran
Situasi berubah panas ketika sebagian massa mencoba merangsek masuk ke gedung DPRD. Polisi yang sudah bersiaga segera membentuk barikade untuk menghalau pergerakan massa. Saling dorong antara demonstran dan aparat pun terjadi. Suasana semakin memanas ketika kepolisian menembakkan gas air mata ke arah demonstran untuk membubarkan massa.
Tak hanya itu, empat peserta aksi langsung diamankan oleh kepolisian. Kapolrestabes Semarang, Kombes M. Syahduddi, menjelaskan bahwa mereka ditangkap karena dianggap sebagai provokator yang menghasut massa untuk bertindak anarkis. Salah satu dari mereka disebut sebagai orator yang mengeluarkan kalimat-kalimat provokatif.
Namun, banyak pihak mempertanyakan dasar hukum penangkapan ini. Apakah keempat demonstran benar-benar melakukan penghasutan? Ataukah ini bentuk pembungkaman terhadap kritik masyarakat?
Dasar Hukum Aksi Demonstrasi dan Penangkapan
Dalam hukum Indonesia, demonstrasi merupakan hak konstitusional yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU ini secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapatnya secara bebas dan damai, selama tidak melanggar hukum yang berlaku.
Namun, dalam beberapa kasus, demonstrasi sering kali berujung pada tindakan represif dari aparat. Polisi menuduh keempat demonstran melanggar Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang penghasutan. Pasal ini menyebutkan bahwa siapa pun yang menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana atau perlawanan terhadap penguasa umum dapat dipidana.
Tetapi, ada satu hal yang perlu dicermati: Apakah orasi yang disampaikan dalam demonstrasi itu benar-benar bisa dikategorikan sebagai penghasutan? Ataukah hanya sekadar ekspresi kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum? Jika tidak ada bukti konkret yang menunjukkan adanya ajakan untuk melakukan kekerasan, maka tuduhan penghasutan ini bisa dipertanyakan.
Standar Penanganan Demonstrasi Sesuai HAM
Dalam menangani aksi massa, aparat kepolisian seharusnya mengacu pada berbagai regulasi yang mengatur penggunaan kekuatan. Salah satunya adalah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Dalam regulasi tersebut, disebutkan bahwa penggunaan kekuatan oleh aparat harus sesuai dengan prinsip legalitas, nesesitas (keharusan), dan proporsionalitas. Artinya, tindakan represif hanya boleh dilakukan jika tidak ada alternatif lain.
Selain itu, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian menegaskan bahwa polisi harus mengedepankan pendekatan persuasif dan menghormati hak asasi manusia. Jika demonstrasi masih bisa dikendalikan dengan negosiasi, maka penggunaan kekuatan seperti gas air mata seharusnya menjadi opsi terakhir.
BACA JUGA : LBH Semarang Sebut 4 Peserta Aksi Tolak Revisi UU TNI Dituding Lakukan Penghasutan
Reaksi Publik dan LBH Semarang
Penangkapan empat demonstran ini langsung mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Fajar Muhammad Andhika, pengacara publik dari LBH Semarang yang mendampingi para demonstran yang ditangkap, menilai bahwa tindakan aparat kepolisian tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Menurutnya, para mahasiswa yang ditangkap hanya menyampaikan pendapat mereka dan tidak melakukan tindakan anarkis. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diperoleh LBH, tuduhan terhadap mereka lebih bersifat subjektif dan tidak memiliki bukti konkret yang kuat.
Setelah adanya tekanan dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan advokat, keempat demonstran akhirnya dibebaskan. Namun, insiden ini meninggalkan pertanyaan besar: Apakah aksi demonstrasi di Indonesia semakin sulit dilakukan? Apakah penangkapan ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat?
Refleksi untuk Aparat Keamanan
Insiden ini menjadi refleksi penting bagi aparat keamanan dalam menangani demonstrasi di masa mendatang. Pendekatan yang lebih persuasif dan humanis harus diutamakan agar bentrokan dan pelanggaran hak asasi manusia tidak kembali terjadi.
Selain itu, penggunaan gas air mata dan tindakan represif lainnya seharusnya tidak menjadi pilihan utama dalam pengendalian massa. Polisi harus mampu membedakan antara demonstrasi damai yang bertujuan menyampaikan aspirasi dengan tindakan anarkis yang melanggar hukum.
Ombudsman Republik Indonesia sendiri dalam siaran persnya pada 23 Agustus 2024 telah menekankan bahwa aparat kepolisian harus mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis dalam menangani aksi demonstrasi serta menghindari tindakan represif. Ombudsman juga meminta agar demonstran yang ditahan segera dibebaskan jika tidak ada bukti kuat atas pelanggaran yang dituduhkan.
Masa Depan Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Kasus ini menjadi alarm bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Jika aksi demonstrasi terus direpresi dengan tindakan seperti ini, apakah masyarakat masih berani menyuarakan kritik mereka? Apakah demokrasi di Indonesia masih sehat?
Revisi UU TNI sendiri masih menjadi perdebatan panas di tengah masyarakat. Jika aturan ini dianggap mengancam demokrasi, maka seharusnya pemerintah mendengarkan suara rakyat, bukan malah membungkamnya dengan tindakan represif.
Semarang boleh saja kembali tenang, tetapi pertanyaan besar tetap menggantung: Apakah keadilan benar-benar ditegakkan? Apakah suara rakyat masih dihargai?
Kita semua berharap, insiden seperti ini tidak terulang kembali di masa depan. Demokrasi harus tetap dijaga, dan kebebasan berpendapat harus tetap dihormati. Karena sejatinya, suara rakyat adalah suara demokrasi!