Rusia dan Ukraina Bertukar Tawanan Perang, Hampir 800 Orang Dibebaskan dalam Aksi Kemanusiaan Terbesar Sejak Perang Dimulai

Rusia dan Ukraina Bertukar Tawanan Perang, Hampir 800 Orang Dibebaskan dalam Aksi Kemanusiaan Terbesar Sejak Perang Dimulai

FYP Media.ID – Sabtu 24 Mei 2025 – Konflik antara Rusia dan Ukraina telah menciptakan krisis kemanusiaan berkepanjangan sejak invasi besar-besaran yang dimulai pada Februari 2022. Namun di tengah serangan roket, pertempuran sengit, dan diplomasi yang membeku, masih muncul titik terang berupa aksi-aksi kemanusiaan yang memberikan secercah harapan. Salah satunya terjadi baru-baru ini, ketika Rusia dan Ukraina melakukan pertukaran tawanan perang terbesar sejak perang dimulai—sebanyak 785 orang dari kedua pihak akhirnya dibebaskan dan dipulangkan.

Pertukaran tawanan ini bukanlah hasil negosiasi dalam semalam. Di balik layar, berbagai proses diplomatik telah berlangsung selama berbulan-bulan. Perundingan dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh kerahasiaan, melibatkan pihak ketiga seperti Uni Emirat Arab, Palang Merah Internasional (ICRC), serta beberapa negara Eropa yang berperan sebagai fasilitator.

Menurut keterangan dari Kementerian Pertahanan Rusia, 400 prajurit Rusia dibebaskan dari tahanan Ukraina. Di sisi lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengonfirmasi bahwa 385 warga Ukraina, yang terdiri dari personel militer, penjaga perbatasan, hingga warga sipil, berhasil dibebaskan dari wilayah pendudukan Rusia dan wilayah lain di bawah kontrol militer Moskow.

“Setiap kali kita berhasil membawa pulang pahlawan-pahlawan kita, itu adalah hari penting bagi seluruh Ukraina,” ujar Zelensky dalam pidatonya yang emosional. “Kami tidak akan meninggalkan satu pun dari mereka di tangan musuh.”

Banyak dari mereka yang dibebaskan tampak dalam kondisi fisik yang lemah. Beberapa bahkan harus digotong dengan tandu, mengenakan jaket tebal dan wajah penuh luka. Mereka langsung dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan medis dan perawatan trauma psikologis.

Salah satu yang menarik perhatian adalah kisah Yulia Makarenko, seorang perawat Ukraina yang ditangkap tentara Rusia saat membantu evakuasi warga sipil di Mariupol pada 2022. Ia ditahan selama hampir dua tahun dan menjadi simbol perjuangan para perempuan Ukraina di tengah perang. Dalam wawancara singkat setelah pembebasannya, Yulia menyebut bahwa ia “tidak pernah kehilangan harapan” untuk kembali ke tanah air.

Di sisi Rusia, media pemerintah menayangkan kepulangan para tentaranya dengan musik patriotik dan sambutan militer. Presiden Vladimir Putin belum memberikan pernyataan langsung, namun Kementerian Pertahanan menyebut pertukaran ini sebagai “keberhasilan dalam melindungi setiap prajurit Rusia di medan tempur.”

Baca Juga : AS-Rusia 12 Jam Berunding: Akankah Perang Ukraina Berakhir?

Peran negara ketiga menjadi sangat penting dalam mengawal pertukaran ini. Uni Emirat Arab dilaporkan memainkan peran kunci sebagai penengah yang dipercaya oleh kedua belah pihak. Dengan posisi diplomatik yang netral dan hubungan baik dengan Rusia maupun Ukraina, negara Teluk ini memfasilitasi komunikasi yang selama ini terputus oleh konflik.

“UAE berkomitmen pada upaya kemanusiaan dan stabilitas global,” ujar pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri UEA. “Kami berharap pertukaran ini menjadi langkah menuju proses diplomasi yang lebih luas.”

Palang Merah Internasional juga terlibat dalam proses verifikasi identitas, pemeriksaan kesehatan awal, serta menjamin bahwa pemindahan dilakukan secara aman dan sesuai standar internasional.

Meskipun menjadi titik terang dalam konflik yang sangat kompleks, para analis menegaskan bahwa pertukaran ini bukan sinyal berakhirnya perang, melainkan cerminan dari komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan di tengah kekejaman konflik.

“Perang ini tetap berjalan. Setiap hari ada korban baru, serangan baru, dan penderitaan baru,” kata Oksana Moroz, pakar hubungan internasional dari Kyiv. “Namun pertukaran tawanan membuktikan bahwa masih ada ruang untuk dialog, bahkan jika terbatas pada isu-isu kemanusiaan.”

Pertukaran semacam ini menjadi pengingat bahwa di tengah pertempuran, hukum humaniter internasional seperti Konvensi Jenewa masih relevan dan dapat ditegakkan, meskipun sulit.

Pertukaran ini merupakan kemajuan, namun hanya sebagian kecil dari keseluruhan jumlah tawanan yang ditahan selama konflik. Menurut data dari berbagai organisasi kemanusiaan, ribuan orang—baik tentara maupun warga sipil—masih berada dalam tahanan masing-masing negara.

Ukraina menuduh Rusia menahan warga sipil dari wilayah pendudukan secara ilegal, termasuk aktivis, guru, hingga pejabat pemerintah lokal. Sementara itu, Rusia mengklaim bahwa tentara Ukraina yang mereka tahan merupakan “ancaman terhadap keamanan nasional.”

Proses negosiasi untuk pembebasan selanjutnya diperkirakan akan terus berlanjut, meski harus melewati berbagai rintangan politis dan militer yang rumit.

Baca Juga : GEMPUR MOSKWA! SERANGAN 337 DRONE TERBESAR UKRAINA BIKIN RUSIA KETAR-KETIR

Komunitas internasional menyambut positif pertukaran ini. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebutnya sebagai “langkah penting menuju penghormatan terhadap hukum humaniter internasional,” dan mendesak kedua negara untuk “memperluas ruang dialog demi mengakhiri penderitaan sipil yang tak berkesudahan.”

Negara-negara seperti Jerman, Prancis, Turki, dan Vatikan juga menyampaikan dukungannya, bahkan menawarkan diri untuk menjadi mediator dalam proses pertukaran tawanan berikutnya atau dalam pembicaraan damai yang lebih luas.

Walaupun pertukaran tawanan ini menjadi momen haru dan penuh harapan, para pengamat mengingatkan bahwa konflik Ukraina dan Rusia masih jauh dari kata selesai. Saat artikel ini ditulis, pertempuran masih berlangsung di wilayah Donetsk, Kharkiv, dan Zaporizhzhia.

Ukraina tetap bersikukuh pada syarat-syarat perdamaian yang mencakup pengembalian seluruh wilayah yang dianeksasi Rusia, termasuk Krimea. Di sisi lain, Rusia masih mempertahankan kekuasaan di wilayah pendudukan dan menyebut langkah militer mereka sebagai “operasi khusus” untuk melindungi etnis Rusia dan menghadang pengaruh NATO.

Namun, jika pertukaran ini dapat membuka kembali jalur komunikasi, banyak yang berharap langkah-langkah diplomatik lain—seperti gencatan senjata, zona aman, atau pertukaran tawanan lanjutan—dapat diwujudkan.