FYPMedia. ID – Rapat Panitia Kerja (Panja) DPR RI yang membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kontroversi. Rapat yang digelar secara tertutup di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta, pada Jumat (14/3) dan Sabtu (15/3) itu dikritik lantaran dinilai tidak transparan dan terkesan terburu-buru.
Dalam rapat tersebut, anggota dewan dan pemerintah disebut bekerja hingga larut malam, bahkan menginap di hotel berbintang lima. Keputusan untuk menggelar rapat di lokasi mewah ini pun menjadi sorotan, mengingat kondisi keuangan negara yang tengah fokus pada efisiensi anggaran.
Kritik Transparansi dan Pemborosan Anggaran
Sejumlah elemen masyarakat sipil mempertanyakan alasan rapat tersebut digelar di hotel mewah alih-alih di gedung DPR yang lebih hemat anggaran. Kritik juga muncul terkait minimnya akses publik terhadap pembahasan revisi UU TNI yang memiliki dampak besar terhadap sistem pertahanan negara.
“Kenapa harus dilakukan secara tertutup di hotel mewah? Seharusnya ada transparansi dalam pembahasan undang-undang yang berkaitan dengan institusi pertahanan,” ujar seorang pengamat politik.
Selain itu, percepatan pembahasan revisi UU TNI juga dipertanyakan. Publik khawatir bahwa revisi dilakukan tanpa partisipasi yang cukup dari masyarakat dan stakeholder terkait. Dalam sistem demokrasi, pembahasan undang-undang yang memiliki dampak besar terhadap tata kelola pertahanan dan keamanan seharusnya melibatkan publik serta dilakukan dengan penuh keterbukaan.
“Kalau pembahasannya tertutup, bagaimana masyarakat bisa mengetahui substansi perubahan yang akan dilakukan? Apakah ada pasal-pasal yang berpotensi merugikan demokrasi atau membahayakan profesionalisme TNI? Ini yang harus dijelaskan oleh DPR,” kata seorang aktivis hak asasi manusia.
Di sisi lain, kritik juga muncul terkait penggunaan anggaran negara. Mengingat kondisi keuangan negara yang tengah difokuskan pada efisiensi dan pemulihan ekonomi, banyak pihak menilai bahwa pengadaan rapat di hotel mewah bukanlah keputusan yang tepat.
“Seharusnya ada pertimbangan efisiensi dalam setiap kebijakan yang diambil. Mengadakan rapat di gedung DPR atau fasilitas negara lainnya tentu lebih hemat dibandingkan harus menyewa hotel berbintang lima,” ujar seorang ekonom.
Mengapa Revisi UU TNI Diperdebatkan?
Revisi UU TNI merupakan salah satu isu yang mendapat perhatian luas karena menyangkut reformasi sektor pertahanan. Beberapa poin dalam rancangan revisi tersebut kabarnya mencakup perluasan wewenang militer dalam kehidupan sipil, penambahan peran TNI dalam penanganan ancaman nonmiliter, serta aturan mengenai masa dinas prajurit dan posisi perwira tinggi di instansi pemerintahan sipil.
Beberapa organisasi masyarakat sipil telah menyatakan kekhawatirannya terhadap revisi tersebut, terutama jika ada pasal-pasal yang berpotensi mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil seperti era Orde Baru. Mereka menilai bahwa revisi UU TNI seharusnya berfokus pada profesionalisme militer serta memperkuat supremasi sipil dalam demokrasi, bukan malah membuka ruang intervensi militer dalam urusan non pertahanan.
“Revisi ini seharusnya diarahkan untuk memperkuat reformasi TNI yang sudah berjalan selama dua dekade terakhir, bukan malah memberi celah bagi militer untuk kembali masuk ke ranah-ranah sipil,” kata seorang pakar militer.
Namun, pihak yang mendukung revisi UU ini berpendapat bahwa perubahan diperlukan untuk menyesuaikan peran TNI dengan dinamika ancaman keamanan saat ini, termasuk ancaman nonmiliter seperti bencana alam, terorisme, dan pandemi.
DPR Belum Berikan Penjelasan Resmi
Hingga saat ini, pihak DPR belum memberikan pernyataan resmi terkait alasan pemilihan lokasi rapat maupun tanggapan terhadap kritik yang berkembang. Namun, tekanan dari berbagai pihak agar pembahasan UU ini dilakukan lebih terbuka semakin meningkat.
Sejumlah kelompok masyarakat sipil bahkan mendesak DPR untuk menggelar forum publik guna membahas substansi revisi UU TNI secara lebih transparan. Mereka juga meminta agar proses legislasi ini tidak dilakukan secara terburu-buru tanpa kajian yang mendalam.
“RUU TNI ini sangat strategis dan menyangkut masa depan reformasi militer kita. Jangan sampai ada pasal-pasal yang disisipkan secara diam-diam dan kemudian disahkan tanpa melalui diskusi yang cukup,” ujar seorang perwakilan LSM.
Revisi UU TNI sendiri merupakan salah satu agenda penting dalam reformasi pertahanan. Oleh karena itu, masyarakat menuntut agar pembahasannya dilakukan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Jika DPR tidak segera memberikan penjelasan dan membuka ruang diskusi dengan publik, bukan tidak mungkin gelombang kritik akan semakin besar. Transparansi dalam pembahasan undang-undang menjadi kunci utama dalam memastikan kebijakan yang dihasilkan benar-benar berpihak pada kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi.