FYPMedia.id – Presiden Korea Selatan (Korsel), Yoon Suk Yeol, resmi ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pengkhianatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Kasus kontroversial ini bermula dari deklarasi darurat militer yang diumumkan Yoon secara sepihak pada 3 Desember 2024, yang kemudian dicabut beberapa jam setelah Majelis Nasional memutuskan untuk mengakhirinya.
Tuduhan terhadap Yoon ini menciptakan perdebatan luas karena melibatkan kekuasaan tertinggi di negara tersebut.
Kepala tim penyelidikan khusus kejaksaan, Park Se Hyun, menjelaskan bahwa tindakan Yoon melanggar aturan konstitusi.
“Pada dasarnya, kasus ini melibatkan pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan untuk memprovokasi pemberontakan dengan tujuan mengganggu tatanan konstitusi. Tindakan ini memenuhi kriteria pengkhianatan dan penyalahgunaan kekuasaan berdasarkan hukum,” ujar Park dalam konferensi pers pada 8 Desember 2024.
Proses Pemakzulan yang Gagal
Sebelumnya, Majelis Nasional Korsel mencoba mengajukan mosi pemakzulan terhadap Yoon, tetapi usaha itu gagal pada 7 Desember 2024.
Partai Demokrat dan partai oposisi lainnya mendorong pemakzulan, tetapi boikot dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang mendukung Yoon membuat mosi itu tidak mencapai kuorum.
Meski lolos dari pemakzulan, tekanan politik terhadap Yoon tetap tinggi. Ketua PPP, Han Dong Hoong, bahkan mengindikasikan bahwa Yoon mungkin akan mengundurkan diri dalam waktu dekat.
“Untuk mengurangi kebingungan, kami akan mengupayakan pengunduran dirinya secara tertib,” kata Han, Sabtu (7/12).
Baca juga: 5 Fakta Mengejutkan Kasus Ronald Tannur: Suap Hakim hingga Dissenting Opinion
Penyelidikan Lintas Lembaga
Setelah penetapan sebagai tersangka, Yoon menghadapi penyelidikan simultan yang melibatkan kejaksaan, polisi, dan Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi (CIO).
Langkah ini termasuk larangan bepergian yang diberlakukan oleh Kementerian Kehakiman pada 10 Desember 2024.
Bae Sang-eop, pejabat senior imigrasi di Kementerian Kehakiman, menyatakan bahwa larangan perjalanan diberlakukan setelah melalui proses peninjauan sederhana terhadap persyaratan formal.
“Larangan itu diberlakukan pada Yoon sekitar pukul 15.00 Waktu Korsel,” ungkap Bae dalam sidang parlemen.
Selain itu, CIO berkomitmen untuk menyelidiki semua pihak yang terlibat, termasuk pemimpin utama lainnya yang diduga memiliki kaitan dengan kasus ini.
Oposisi Mengkritik Kebijakan Yoon
Oposisi utama, Partai Demokrat (DP), dengan tegas menolak kebijakan Yoon dan menyerukan penangkapan segera.
Anggota parlemen DP, Kim Min-seok, menyebut langkah darurat militer Yoon sebagai tindakan tidak konstitusional.
Baca juga: Darurat Militer Korea Selatan Guncang Ekonomi, Nilai Won Anjlok 1,4 %
“Menangguhkan tugas kepresidenan Yoon adalah satu-satunya proses yang sesuai dengan konstitusi. Dan, tindakan lainnya tidak konstitusional dan tidak lebih dari sekadar tindakan pemberontakan,” ujar anggota parlemen DP Kim Min-seok kepada wartawan.
Nasib Politik Yoon di Ujung Tanduk
Situasi ini membuat masa depan politik Yoon menjadi tidak pasti. Dalam pidato publik terbarunya, Yoon meminta maaf kepada rakyat Korea Selatan atas kekacauan yang terjadi.
“Saya telah menyebabkan kecemasan dan ketidaknyamanan bagi publik. Saya dengan tulus meminta maaf,” ujar Yoon dalam pidato yang disiarkan di televisi.
Kasus ini menjadi salah satu skandal politik terbesar di Korea Selatan yang menarik perhatian dunia internasional.
Dengan penyelidikan yang masih berlangsung, kelanjutan kasus Yoon akan menjadi penentu bagi stabilitas politik di negeri ginseng tersebut.