FYPMedia.ID – Pengumuman batalnya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang dan jasa non-mewah memicu berbagai respons di sektor ritel dan masyarakat.
Kebijakan ini, yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025, menegaskan bahwa tarif PPN 12 persen hanya dikenakan pada barang mewah seperti hunian di atas Rp 30 miliar, kendaraan mewah, helikopter, dan kapal pesiar.
Namun, sejumlah pelaku usaha ritel telah terlanjur menaikkan tarif PPN dalam sistem mereka. Bagaimana dampaknya terhadap konsumen dan apa langkah pemerintah?
Dampak pada Harga di Peritel yang Telanjur Naik
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, mengungkapkan bahwa beberapa peritel menaikkan harga lebih awal karena ketidakpastian kebijakan hingga akhir Desember 2024.
“Kami sedang melakukan rekapitulasi, apakah ada peritel per 1 Januari (2025) yang sudah mengenakan PPN 12 persen. Itu yang kami lagi data,” ujar Solihin, Kamis (2/1/2025).
Meski begitu, ia memastikan sebagian besar peritel anggota Aprindo telah menyesuaikan harga sesuai tarif PPN 11 persen.
Baca juga: Kebijakan Baru: PPnBM dan Kenaikan PPN 12 Persen di Tahun 2025
Di sisi lain, dampak psikologis akibat ketidakpastian kebijakan ini dirasakan oleh pelaku usaha dan konsumen.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai bahwa inflasi Desember 2024 yang mencapai 0,52 persen juga dipengaruhi oleh faktor konsumsi akhir tahun dan efek ketidakpastian aturan.
“Momentum Nataru (Natal dan Tahun Baru) serta maju mundur aturan PPN 12 persen menciptakan efek psikologis. Pengusaha sudah telanjur menyesuaikan harga jual akhir yang di dalamnya termasuk PPN,” jelas Bhima.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Beri Waktu Transisi
Untuk mengatasi kekacauan akibat penerapan PPN 12 persen yang terlanjur dilakukan beberapa peritel, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan masa transisi selama tiga bulan.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan bahwa waktu ini diberikan agar pelaku usaha dapat menyesuaikan sistem dengan kebijakan tarif terbaru.
“Kami duduk berdiskusi, kira-kira transisi sekitar tiga bulan bagi para pihak untuk menyesuaikan sistemnya,” kata Suryo, Jumat (3/1/2025).
DJP juga akan mengevaluasi sistem internal mereka untuk memastikan implementasi kebijakan berjalan lancar.
“Saya masih ngecek ke sistem kita juga, seperti apa sistem pada waktu transisi ini kita jalankan. Jadi kami mentransisikan supaya kebijakan dapat berjalan dengan baik, secara aplikatif, sistemnya pun dapat terlaksana dengan baik,” tambah Suryo.
Baca juga: MKD dan Polemik Rieke Diah Pitaloka, Kontroversi Kenaikan PPN 12 %
Konsumen Bisa Klaim Pengembalian Kelebihan PPN
Untuk konsumen yang sudah terlanjur dikenakan tarif PPN 12 persen pada barang non-mewah, pemerintah memastikan akan mengembalikan kelebihan pungutan tersebut.
“Secara prinsip, haknya negara kita mesti pastikan masuk, tapi haknya wajib pajak yang bukan haknya negara harus kita kembalikan,” tegas Suryo.
Namun, mekanisme pengembalian masih dirumuskan. DJP mempertimbangkan beberapa opsi, seperti kompensasi langsung dari peritel kepada konsumen atau pembetulan faktur pajak.
Hingga kini, aturan teknis yang seragam sedang disiapkan untuk mempermudah proses pengembalian.
Contohnya, pada platform seperti Apple One, konsumen membayar Rp 149.000 per bulan, di mana Rp 15.964 di antaranya adalah PPN 12 persen.
Kebijakan PPN untuk Barang Mewah
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 untuk menetapkan kebijakan ini.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan membatasi beban pajak hanya pada kelompok tertentu.
Langkah ini diharapkan dapat memitigasi dampak inflasi dan mendorong stabilitas sektor ritel di tahun 2025.
(Oda/Evly)