Perang Dagang Memanas: China Balas Tarif AS dan Investigasi Google

Perang Dagang Memanas: China Balas Tarif AS dan Investigasi Google
sumber foto: canva.com

FYPMedia.ID –  Ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas setelah Beijing mengumumkan tarif balasan terhadap sejumlah barang impor dari AS pada Selasa (4/2/2025). 

Langkah ini dilakukan sebagai respons terhadap kebijakan Presiden Donald Trump yang menerapkan tarif baru sebesar 10 persen terhadap seluruh barang impor dari China.

Dalam hitungan menit setelah kebijakan AS diberlakukan, Kementerian Keuangan China mengumumkan tarif tambahan sebesar 15 persen untuk batu bara dan gas alam cair (LNG) asal AS. 

Selain itu, minyak mentah, peralatan pertanian, dan beberapa jenis kendaraan juga dikenakan tarif sebesar 10 persen.

Baca juga: Kebijakan Tarif Trump Picu Kenaikan Harga Barang dan Pelemahan Rupiah

Tidak hanya memberlakukan tarif, China juga mulai menyelidiki Google atas dugaan praktik monopoli. Administrasi Negara untuk Regulasi Pasar Tiongkok (SAMR) mengonfirmasi bahwa investigasi ini terkait dengan undang-undang persaingan usaha di negara tersebut. 

Langkah ini menambah ketegangan yang sudah ada, terutama setelah AS mengambil kebijakan perdagangan yang semakin ketat terhadap China.

Investigasi Terhadap Google

Google pertama kali masuk ke pasar China dengan meluncurkan mesin pencari google.cn pada 2006. Namun, setelah mengalami serangan siber dan meningkatnya tekanan terhadap penyaringan informasi, perusahaan asal AS itu menghentikan layanannya di Tiongkok tersebut pada 2010. 

Sejak saat itu, sebagian besar layanan Google, termasuk Gmail dan Chrome, diblokir oleh pemerintah Tiongkok melalui sistem sensor internet yang dikenal sebagai “Great Firewall.”

Meski demikian, Google masih memiliki kantor di beberapa kota besar China, seperti Beijing, Shanghai, dan Shenzhen. 

Perusahaan ini tetap beroperasi di sektor periklanan dan layanan cloud. Namun, investigasi terbaru dari SAMR menimbulkan ketidakpastian terhadap masa depan bisnis Google di negara tersebut.

Profesor ekonomi di University of International Business and Economics, John Gong, menyoroti bahwa dominasi Google dalam sistem operasi Android bisa menjadi salah satu alasan utama investigasi ini. 

Baca juga: DeepSeek: Chatbot AI China yang Mengguncang Dominasi OpenAI dan Meta

“Hampir semua produsen smartphone, kecuali Apple dan Huawei, harus membayar lisensi kepada Google untuk menggunakan Android,” kata Gong.

Huawei sendiri telah mengembangkan sistem operasinya, HarmonyOS, sebagai alternatif Android setelah masuk dalam daftar hitam AS pada 2019. Larangan tersebut membuat Huawei tidak bisa lagi bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan AS, termasuk Google.

Ancaman Trump dan Respons China

Presiden Trump menegaskan bahwa kebijakan tarif terhadap China tidak hanya terkait dengan perdagangan, tetapi juga sebagai upaya menghentikan masuknya fentanil, opioid berbahaya yang berkontribusi terhadap krisis kesehatan di AS. 

“Mudah-mudahan China akan berhenti mengirim fentanil kepada kami, dan jika tidak, tarif akan meningkat jauh lebih tinggi,” ujar Trump pada Senin.

Namun, nwgara tersebut membantah tuduhan tersebut dan menyebut masalah fentanil sebagai persoalan domestik AS. Beijing juga mengisyaratkan akan menentang kebijakan tarif AS di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta mempertimbangkan langkah-langkah balasan lainnya.

Di tengah ketegangan ini, Trump dijadwalkan berbicara langsung dengan Xi Jinping, akhir pekan ini. Meski begitu, para analis memperkirakan negosiasi tidak akan mudah. 

“Berbeda dengan Kanada dan Meksiko, jauh lebih sulit bagi AS dan China untuk mencapai kesepakatan yang diinginkan Trump secara ekonomi maupun politik,” kata Gary Ng, ekonom senior di Natixis, Hong Kong.