FYPMedia.ID – Dunia sains kembali diguncang dengan keputusan kontroversial Presiden Donald Trump. Setelah sebelumnya sempat menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris, kini Trump kembali menunjukkan sikap keras terhadap penelitian perubahan iklim dengan memangkas anggaran NASA hingga 50 persen. Dampaknya? 23 ilmuwan NASA, termasuk Kepala Ilmuwan Katherine Calvin, dipecat!
Pemecatan ini disebut-sebut baru tahap awal dari rangkaian PHK massal yang bakal menghantam badan antariksa terbesar di dunia itu. Jika benar anggaran terus dipotong, bukan tidak mungkin riset-riset vital akan dihentikan, dan ribuan ilmuwan NASA lainnya akan kehilangan pekerjaan mereka.
Pemecatan Ilmuwan dan Masa Depan Suram NASA
NASA secara resmi mengumumkan pemecatan ini pada Selasa (11/3/2025). Seorang juru bicara NASA, Cheryl Warner, menyatakan bahwa ini merupakan bagian dari “Reductions in Force” (RIF), sebuah langkah yang diambil untuk menyesuaikan tenaga kerja dengan anggaran yang tersedia.
“Sejumlah kecil individu menerima pemberitahuan pada tanggal 10 Maret bahwa mereka adalah bagian dari RIF NASA. Jika mereka memenuhi syarat, karyawan tersebut dapat memilih untuk berpartisipasi dalam Voluntary Early Retirement Authority (VERA) atau menyelesaikan proses RIF,” ujar Warner dalam pernyataannya.
PHK ini juga berdampak pada tim yang bekerja di Office of Technology, Policy, and Strategy, serta Diversity, Equity, Inclusion, and Accessibility Branch dari Office of Diversity, Equity, and Inclusion. Dengan kata lain, bukan hanya penelitian iklim yang terkena dampak, tetapi juga kebijakan teknologi dan program keberagaman di NASA.
Katherine Calvin, yang dikenal sebagai ilmuwan iklim top dan berkontribusi dalam laporan iklim utama PBB, juga terkena dampak langsung dari kebijakan ini. Bahkan, ia dan delegasi AS dilarang menghadiri konferensi besar mengenai perubahan iklim di China bulan lalu. Apakah ini pertanda bahwa pemerintahan Trump memang sengaja ingin menekan penelitian tentang perubahan iklim
NASA: Dari Penelitian ke Eksplorasi?
Keputusan Trump ini semakin menguatkan spekulasi bahwa pemerintahannya ingin menggeser fokus NASA dari penelitian ilmiah ke eksplorasi luar angkasa. Trump sendiri dalam pidato kenegaraannya pekan lalu menyatakan keinginannya untuk “menancapkan bendera Amerika di Mars dan bahkan lebih jauh lagi.”
Elon Musk, CEO SpaceX, juga dikenal sebagai pendukung berat misi manusia ke Mars. Jika NASA benar-benar dialihkan ke eksplorasi luar angkasa, maka tidak menutup kemungkinan kerja sama antara NASA dan SpaceX akan semakin erat.
Namun, pertanyaannya adalah: apakah eksplorasi luar angkasa harus dilakukan dengan mengorbankan penelitian iklim yang krusial bagi kelangsungan Bumi?
Baca Juga: Donald Trump Umumkan Investasi Rp8,159 Triliun untuk Infrastruktur AI
Trump dan Perang Terhadap Ilmu Iklim
Ini bukan pertama kalinya Trump menunjukkan ketidaksukaannya terhadap penelitian perubahan iklim. Dalam periode kepemimpinannya sebelumnya, ia pernah:
- Mengeluarkan AS dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim.
- Memotong anggaran untuk berbagai lembaga penelitian iklim, termasuk NASA dan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).
- Menyebut perubahan iklim sebagai hoax yang dibuat oleh China.
- Memberhentikan ratusan karyawan NOAA, salah satu lembaga riset iklim terkemuka di AS.
Dengan keputusan terbaru ini, Trump tampaknya semakin menegaskan sikapnya bahwa penelitian perubahan iklim bukanlah prioritas bagi pemerintahannya. Padahal, NASA memegang peran penting dalam penelitian ini, dengan mengoperasikan satelit pemantau Bumi, mengembangkan model iklim canggih, serta menyediakan data sumber terbuka bagi para peneliti di seluruh dunia.
Keputusan ini tidak hanya berdampak pada NASA, tetapi juga pada komunitas ilmiah global. Data dari NASA selama ini digunakan oleh berbagai organisasi dan negara untuk memahami dan menghadapi perubahan iklim. Jika anggaran terus dipangkas dan para ilmuwan dipecat, maka:
- Penelitian tentang perubahan iklim akan melambat drastis.
- Proyek-proyek penting bisa dihentikan sebelum mencapai hasil yang berarti.
- Negara-negara lain harus mengisi kekosongan riset yang ditinggalkan NASA.
- AS bisa kehilangan posisi sebagai pemimpin dalam riset sains dan teknologi.
Dengan semakin banyaknya bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim, seperti kebakaran hutan, badai, dan naiknya permukaan laut, keputusan ini bisa jadi bumerang bagi Amerika Serikat sendiri.
Ilmuwan dan Masyarakat Tidak Tinggal Diam
Meskipun mendapat tekanan dari pemerintah, komunitas ilmiah tidak tinggal diam. Banyak ilmuwan yang kini beralih ke sektor swasta atau mencari pendanaan alternatif untuk melanjutkan penelitian mereka. Beberapa perusahaan teknologi besar seperti Google dan Microsoft bahkan mulai mendukung penelitian iklim secara mandiri.
Selain itu, masyarakat umum juga mulai menyuarakan kekhawatiran mereka di media sosial. Tagar #SaveNASA dan #ClimateScienceMatters mulai trending di Twitter, menunjukkan bahwa publik tidak mendukung keputusan Trump ini.
Kesimpulan: Masa Depan Ilmu Pengetahuan di Tangan Politik
Pemecatan 23 ilmuwan NASA hanyalah awal dari gelombang perubahan besar yang mungkin akan mengubah arah penelitian sains di Amerika Serikat. Jika anggaran terus dipangkas, bukan hanya penelitian perubahan iklim yang akan terdampak, tetapi juga berbagai inovasi lain yang telah membantu umat manusia memahami alam semesta.
Apakah ini pertanda bahwa AS akan kehilangan dominasinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi? Ataukah justru akan memicu lahirnya gelombang inovasi baru dari sektor swasta dan negara lain?
Yang jelas, keputusan ini akan terus menuai kontroversi, dan dunia masih menanti bagaimana NASA akan bertahan di tengah badai pemangkasan anggaran ini.