MK Resmi Hapus Presidential Threshold, Keputusan Bersejarah di Awal 2025

mk resmi hapus Presidential threshold
Sidang MK soal gugatan terhadap UU Pemilu terkait ambang batas calon presiden. (Foto: Danandaya Arya Putra/Inewsid)

FYPMedia.IDMahkamah Konstitusi (MK) baru saja membuat keputusan bersejarah dengan menghapus aturan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen. 

Putusan ini diambil dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis, 2 Januari 2024. 

Ketua MK Suhartoyo menyatakan, “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujarnya saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Kamis, 2 Januari 2024.

Apa Itu Presidential Threshold?

Presidential threshold adalah ketentuan yang mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai harus memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. 

Ketentuan ini pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 dan diterapkan sejak Pemilu Presiden 2004. 

Namun, aturan tersebut telah menjadi topik kontroversial dan sering kali mendapatkan gugatan dari berbagai pihak, termasuk politisi dan akademisi.

Menurut MK, aturan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Dalam putusannya, MK “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tutur dia.

Baca juga: MK Resmi Ubah Desain Surat Suara Calon Tunggal Pilkada Mulai 2029

Gugatan yang Berkali-Kali Ditolak

Putusan ini datang setelah berbagai upaya hukum sebelumnya gagal. Tercatat, ada tujuh gugatan terhadap aturan ini sebelum Pilpres 2024, termasuk dari Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tetapi semua ditolak oleh MK. 

Salah satu gugatan terkenal diajukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2022, tetapi juga ditolak.

Kali ini, permohonan dikabulkan setelah diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. 

Dalam petitumnya, para mahasiswa tersebut mendalilkan bahwa aturan presidential threshold menyebabkan “distorsi representasi dalam sistem demokrasi.” 

Salah satu pemohon menyatakan, “Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama. Idealnya, menurut para Pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan,” kata pemohon dalam gugatan.

Reaksi Beragam Terhadap Putusan MK

Keputusan ini menuai berbagai tanggapan. Menteri Koordinator Hukum, HAM, dan Imigrasi, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa pemerintah menghormati putusan MK.

“Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” ujar Yusril dalam keterangan tertulis pada Jumat, 3 Januari 2025.

Yusril menyatakan bahwa pemerintah menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanpa memiliki opsi untuk melakukan upaya hukum lebih lanjut.

 Ia juga menyoroti bahwa permohonan judicial review (JR) terkait Pasal 222 UU Pemilu telah diajukan lebih dari 30 kali, namun baru dikabulkan kali ini.

Baca juga: 4 Fakta Penting Kontroversial: Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, Tersangka Kasus Pengkhianatan

Yusril mengungkapkan bahwa pemerintah mencermati adanya perubahan sikap MK dalam menilai konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu jika dibandingkan dengan putusan-putusan sebelumnya.

“Namun apa pun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis. MK berwenang menguji norma undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, ucap Yusril.

Di sisi lain, beberapa pihak menilai penghapusan ini sebagai langkah maju bagi demokrasi Indonesia. 

Dikutip dari Tempo.co, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, pada 25 Juli 2022, menyebut aturan itu mengekang hak seluruh warga negara untuk mencalonkan diri. Menurutnya, regulasi ini membuat peluang mencalonkan diri hanya dimiliki kalangan elite tertentu.

Implikasi Keputusan MK

Keputusan ini memerintahkan DPR untuk merevisi aturan dalam Undang-Undang Pemilu agar pencalonan presiden tidak lagi bergantung pada ambang batas tersebut. 

Dengan penghapusan presidential threshold, setiap partai politik peserta Pemilu akan memiliki hak yang sama untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden, tanpa memandang jumlah kursi atau perolehan suara di DPR.

Hakim MK Saldi Isra menjelaskan bahwa ketentuan ambang batas bertentangan dengan moralitas demokrasi dan prinsip keadilan. 

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyengkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isra.

Dia mengatakan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini juga bertentangan dengan beberapa pasal. Salah satunya pasal 6A ayat 2 UUD NRI tahun 1945. 

“Presidential threshold berapa pun besarnya atau angka presentasinya adalah bertentangan dengan Pasal 6A Ayat 2 Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945,” ucapnya.

(Oda/Evly)