Mitos dan Fakta Seputar Kesehatan dari TikTok dan Instagram: Antara Viral dan Ilmiah

Mitos dan Fakta Seputar Kesehatan dari TikTok dan Instagram: Antara Viral dan Ilmiah
crimson agency

Di era digital saat ini, TikTok dan Instagram telah menjadi sumber utama informasi, termasuk di bidang kesehatan. Dari tips diet, skincare, hingga pengobatan alternatif—semuanya tersebar dengan cepat, bahkan bisa viral dalam hitungan jam. Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di sinilah letak tantangannya: bagaimana membedakan mana yang mitos dan mana yang fakta?

Bagi generasi muda yang lebih sering scrolling daripada membaca jurnal kesehatan, informasi yang menarik visualnya sering dianggap lebih benar daripada yang berbasis data. Padahal, penyebaran mitos bisa berbahaya dan menyesatkan, bahkan memicu risiko kesehatan jangka panjang.

 

  1. Mitos: Air lemon di pagi hari bisa “membersihkan racun” dari tubuh

 

Video dengan tagar #lemonwater dan #detox bertebaran di TikTok, banyak yang mengklaim bahwa minum air lemon setiap pagi bisa menghilangkan racun dari tubuh dan menurunkan berat badan drastis.

 

Faktanya:

Tubuh manusia memiliki organ detoks alami, yaitu hati dan ginjal, yang bekerja 24 jam. Minum air lemon memang menyegarkan dan bisa membantu hidrasi, tetapi tidak ada bukti ilmiah kuat yang menyatakan bahwa lemon bisa “mengeluarkan racun” secara spesifik. Detoksifikasi bukanlah proses yang bisa dilakukan lewat satu jenis makanan atau minuman.

 

Air lemon baik untuk hidrasi, bukan untuk “menghilangkan racun”.

 

  1. Mitos: Sunscreen hanya perlu dipakai kalau keluar rumah

 

Di Instagram, banyak influencer kecantikan yang memberi tips skincare, namun masih ada yang menyebut sunscreen hanya penting saat terkena sinar matahari langsung.

 

Faktanya:

Radiasi UVA—jenis sinar ultraviolet yang menyebabkan penuaan kulit dan bisa memicu kanker—dapat menembus kaca jendela dan awan. Artinya, meskipun Anda berada di dalam rumah atau mobil, paparan sinar UVA tetap terjadi.

 

Gunakan sunscreen setiap hari, bahkan saat mendung atau berada di dalam ruangan dengan cahaya alami.

 

  1. Mitos: Berpuasa air (water fasting) selama beberapa hari bisa menyembuhkan penyakit

 

Tren ekstrem seperti water fasting (hanya minum air selama 3–7 hari) kerap dianggap ampuh untuk memperbaiki sel tubuh dan menyembuhkan penyakit kronis.

 

Faktanya:

Beberapa riset menunjukkan bahwa puasa intermiten (intermittent fasting) bisa berdampak positif bagi metabolisme, namun water fasting ekstrem berisiko menimbulkan dehidrasi, gangguan elektrolit, bahkan kerusakan organ jika dilakukan tanpa pengawasan medis. Tidak semua orang cocok menjalani metode ini, apalagi secara sembarangan.

 

Water fasting bukan jalan pintas penyembuhan. Berkonsultasilah ke dokter sebelum mencoba pola diet ekstrem.

 

  1. Mitos: Teh herbal bisa menggantikan obat medis

 

Tagar seperti #herbalcure dan #naturalremedy banyak bermunculan di TikTok dan Reels, dengan klaim bahwa daun-daunan atau minuman herbal bisa menyembuhkan berbagai penyakit, bahkan kanker.

 

Faktanya:

Beberapa tanaman herbal memang memiliki sifat farmakologis, namun tidak bisa menggantikan pengobatan medis yang teruji klinis. Konsumsi herbal tanpa dosis dan pengawasan justru bisa berinteraksi negatif dengan obat yang sedang diminum, memperburuk kondisi, atau menimbulkan efek samping.

 

Herbal bisa menjadi pelengkap, bukan pengganti. Jangan tinggalkan pengobatan medis demi tren “alami”.

 

  1. Mitos: Mengonsumsi suplemen vitamin C dosis tinggi bisa mencegah Covid-19

 

Di awal pandemi, banyak sekali konten viral yang mendorong konsumsi vitamin C dalam dosis tinggi untuk “menghindari” virus.

 

Faktanya:

Vitamin C memang berperan dalam menjaga sistem imun, tetapi tidak ada bukti bahwa mengonsumsi dalam jumlah berlebihan akan mencegah infeksi virus corona. Malah, dosis tinggi (di atas 2.000 mg/hari) bisa menyebabkan diare, batu ginjal, dan gangguan lambung.

 

Konsumsi vitamin C dalam dosis normal (75–90 mg/hari). Lebih banyak belum tentu lebih baik.

 

  1. Mitos: Minum kopi bisa menyusutkan perut dan membakar lemak

 

Banyak influencer fitness membagikan “resep kopi pelangsing” dengan tambahan bahan seperti kayu manis, lemon, hingga mentega, dan mengklaim bisa mempercepat pembakaran lemak.

 

Faktanya:

Kafein memang bisa sedikit meningkatkan metabolisme, tetapi tidak secara signifikan membakar lemak tanpa didukung pola makan sehat dan olahraga. Tambahan bahan seperti mentega justru menambah kalori. Efeknya terhadap penurunan berat badan sangat kecil dan bersifat jangka pendek.

 

Kopi bukan pembakar lemak ajaib. Fokus pada pola makan dan aktivitas fisik.

 

  1. Mitos: Menyikat gigi setelah makan langsung lebih sehat

 

Tren “oral care hacks” di Instagram sering kali menyarankan menyikat gigi langsung setelah makan agar mulut cepat bersih.

 

Faktanya:

Jika Anda baru saja makan makanan asam (seperti buah jeruk atau tomat), menyikat gigi langsung bisa merusak enamel gigi karena lapisan gigi sedang dalam kondisi lunak. Dokter gigi menyarankan menunggu minimal 30 menit sebelum menyikat gigi.

 

Bersihkan mulut dengan air atau berkumur dahulu, tunggu 30 menit sebelum menyikat.

 

  1. Mitos: Semua produk “alami” pasti aman

 

Banyak brand di Instagram mempromosikan produk dengan label “natural”, “organik”, atau “tanpa bahan kimia” sebagai jaminan aman untuk kulit atau tubuh.

 

Faktanya:

Tidak semua bahan alami aman. Racun ular, jamur beracun, dan arsenik juga alami, tapi tentu tidak aman. Selain itu, istilah “alami” tidak selalu menjamin bahwa produk tersebut telah melalui uji dermatologis atau bebas alergen.

 

Fokus pada bukti uji keamanan, bukan sekadar label “alami”.

 

  1. Mitos: Diet ekstrem seperti “no carbs” adalah solusi terbaik untuk menurunkan berat badan

 

Tren diet ekstrem seperti keto, carnivore, atau diet nol karbohidrat sering mendapat banyak sorotan di TikTok, disertai dengan transformasi tubuh yang tampak meyakinkan.

 

Faktanya:

Setiap orang memiliki kebutuhan metabolisme yang berbeda. Menghilangkan seluruh karbohidrat bisa menyebabkan kelelahan, gangguan mood, dan konstipasi. Tubuh tetap membutuhkan karbohidrat kompleks sebagai sumber energi utama, terutama untuk otak.

 

Diet seimbang dan berkelanjutan lebih baik daripada diet ekstrem yang hanya viral sesaat.

 

Mengapa Mitos Kesehatan Mudah Viral?

 

Ada beberapa alasan mengapa informasi keliru seputar kesehatan cepat menyebar:

 

Visual yang menarik: Video pendek dengan efek transisi, musik, dan narasi yang emosional lebih mudah disukai dan dibagikan.

 

Bahasa yang sederhana: Mitos sering dikemas dalam istilah awam, sedangkan fakta ilmiah kadang sulit dicerna.

 

Testimoni pribadi: Banyak orang lebih percaya pada pengalaman individu daripada data dari jurnal medis.

 

FOMO (Fear of Missing Out): Ketika semua orang mencobanya, kita takut tertinggal tren.

 

Tips Membedakan Mitos dan Fakta Kesehatan di Media Sosial

 

Agar tidak terjebak informasi menyesatkan, berikut beberapa tips sederhana:

 

  1. Periksa sumbernya – Apakah berasal dari dokter, ahli gizi, atau lembaga resmi?

 

  1. Cek di situs kredibel – Misalnya WHO, CDC, Kemenkes RI, atau Mayo Clinic.

 

  1. Waspadai klaim berlebihan – Jika terdengar “terlalu bagus untuk jadi kenyataan”, besar kemungkinan itu tidak benar.

 

  1. Jangan langsung praktik – Simpan dulu, cari referensi lain, dan konsultasikan ke tenaga kesehatan.

 

Media sosial telah membuka pintu informasi selebar-lebarnya, namun juga membuka celah besar untuk penyebaran mitos kesehatan. TikTok dan Instagram bisa menjadi alat edukasi yang hebat jika digunakan dengan bijak, tapi juga bisa menjadi ladang hoaks jika kita tidak kritis. Menjadi sehat bukan hanya soal menjaga tubuh, tapi juga soal menjaga pikiran dari informasi keliru.

 

Ingat, tidak semua yang viral itu benar — dan tidak semua yang benar itu viral.