Mengupas Romantisasi Kesehatan Mental: Realita di Balik Tren Gen Z

kesehatan
nzphotonz

FYPMEDIA.ID – Generasi Z  atau biasa disebut Gen Z ini dikenal dengan keterbukaannya dalam membahas isu kesehatan mental, membawa perubahan positif yang sebelumnya tabu. 

Namun, fenomena romantisasi isu kesehatan mental, terutama di media sosial, menjadi perhatian serius. Gangguan seperti kecemasan dan depresi sering digambarkan secara estetis, seolah-olah penderitaan emosional adalah sesuatu yang “indah.”

Romantisasi ini memunculkan risiko penggunaan istilah kesehatan mental secara sembarangan, seperti menyebut perasaan gugup sebagai “anxiety” atau kesedihan biasa sebagai “depresi.” 

Hal ini dapat mengaburkan pemahaman tentang gangguan mental dan mendorong self-diagnosis yang tidak akurat, yang justru berbahaya bagi individu. Bagi mereka yang benar-benar berjuang dengan gangguan mental, pengalaman ini jauh dari kata “indah,” melainkan perjuangan berat yang memengaruhi setiap aspek kehidupan.

Romantisasi kesehatan mental di media sosial tidak hanya menyesatkan pemahaman masyarakat, tetapi juga dapat menciptakan stigma baru yang merugikan. 

Baca juga: Menjaga Keseimbangan Kesehatan Mental dengan Pola Makan, Memangnya Bisa?

Ketika gangguan mental seperti kecemasan atau depresi digambarkan secara estetis dan glamor, hal ini membentuk pandangan bahwa memiliki gangguan mental adalah sesuatu yang “normal” atau bahkan “keren.” 

Akibatnya, individu yang tidak mengalami gangguan mental dapat merasa kurang valid atau kurang “relatable” dalam komunitas mereka.

Tekanan sosial ini mendorong sebagian orang untuk mengidentifikasi diri dengan gangguan mental, meskipun mereka sebenarnya tidak mengalaminya. Mereka mungkin mulai menggunakan istilah seperti “anxiety” atau “depression” untuk menggambarkan perasaan normal seperti gugup atau sedih. 

Perilaku ini tidak hanya meremehkan pengalaman mereka yang benar-benar berjuang, tetapi juga berisiko menyebarkan pemahaman keliru tentang kesehatan mental.

Lebih jauh, situasi ini dapat mempersulit individu yang benar-benar membutuhkan dukungan. Ketika gangguan mental dipandang sebagai “tren,” perjuangan nyata yang dihadapi oleh penderita bisa dianggap sepele atau tidak dihargai. 

Bahkan, mereka mungkin merasa sulit mendapatkan empati yang tulus karena perjuangan mereka telah direduksi menjadi sesuatu yang “biasa” dalam wacana publik.

Tekanan ini juga dapat menghalangi mereka yang sehat mental untuk merayakan kesehatan emosional mereka, karena merasa tidak “cukup” jika tidak memiliki cerita tentang perjuangan mental. 

Baca juga: Hari Kesehatan Nasional 2024: Meningkatkan Kualitas Hidup Melalui Kesehatan yang Merata

Hal ini menciptakan dinamika sosial yang tidak sehat, di mana gangguan mental dianggap sebagai syarat relevansi dalam komunitas tertentu.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, terutama Generasi Z, untuk menghentikan glorifikasi gangguan mental. Kita perlu menekankan bahwa kesehatan mental bukanlah identitas atau atribut estetis, melainkan aspek kehidupan yang kompleks dan serius. 

Semua individu, baik yang mengalami gangguan mental maupun tidak, memiliki validitas dan nilai yang sama dalam komunitas mereka.

Generasi Z memiliki tanggung jawab untuk lebih bijak menangani isu ini. Alih-alih mengikuti tren romantisasi yang berbahaya, kita harus mendorong perubahan nyata dengan mendukung mereka yang berjuang, mendorong pencarian bantuan profesional, dan mendidik diri sendiri tentang pentingnya kesehatan mental.

Ini mencakup menghargai perbedaan antara perasaan normal dan gangguan mental yang membutuhkan intervensi.

Kesehatan mental bukanlah tren atau label untuk simpati, tetapi aspek penting dari kesejahteraan yang harus ditangani serius. Dengan menghindari romantisasi dan fokus pada dukungan nyata, Gen Z dapat menjadi generasi yang membawa perubahan positif berkelanjutan.