FYPMEDIA.ID – Fenomena fatherless atau ketiadaan figur ayah dalam kehidupan anak semakin menjadi perhatian di Indonesia. Ketidakhadiran sosok ayah dalam keluarga dapat berdampak signifikan pada perkembangan anak, baik dari segi emosional maupun sosial. Fenomena fatherless di Indonesia menyebabkan tidak semua anak mendapatkan kehangatan dari seorang ayah. Fenomena ini disebabkan berbagai faktor di antaranya perceraian, permasalahan internal pada orang tua, kematian ayah, atau ayah yang bekerja di luar daerah tempat tinggal. Fatherless diartikan sebagai seorang anak yang memiliki ayah namun ayahnya tidak hadir secara maksimal dalam proses tumbuh kembang anaknya.
Dalam banyak keluarga, peran ayah sering kali terbatas pada penyedia kebutuhan finansial. Ayah sering dipandang sebagai “mesin pencari nafkah” yang memiliki tanggung jawab utama untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sayangnya, persepsi ini dapat menyebabkan ayah menjadi kurang hadir secara psikologis dan emosional dalam kehidupan anak-anak mereka. Ketidakhadiran ini dapat berdampak pada hubungan ayah-anak, mengurangi kesempatan bagi anak-anak untuk merasakan dukungan emosional dan kehangatan dari figur ayah.
Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial anak-anak, karena mereka mungkin kehilangan panduan dan kasih sayang dari sosok ayah yang seharusnya dapat berperan lebih aktif dan terlibat dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Fenomena “fatherless” atau ketiadaan figur ayah ini tidak hanya disebabkan oleh ketidakhadiran fisik, tetapi juga oleh kurangnya keterlibatan ayah dalam aspek-aspek penting perkembangan anak. Hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh stereotip budaya yang telah lama tertanam dalam masyarakat. Budaya pada paradigma pengasuhan cenderung memandang bahwa tugas beban domestik rumah tangga termasuk mengasuh anak hanya dibebankan kepada ibu. Stereotip ini mengakibatkan, banyak ayah yang merasa tidak perlu atau bahkan tidak mampu untuk terlibat secara aktif dalam pengasuhan anak-anak mereka. Beban domestik, termasuk tanggung jawab sehari-hari dalam membesarkan anak, seringkali dibebankan sepenuhnya kepada ibu.
Adapun peran ayah sebagai pendidik di keluarga, dalam undang-undang nomor 23 tahun 2022 pasal 9 ayat 1 berbunyi, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Pendidikan keluarga merupakan tempat pertama dalam melakukan proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu, keluarga dianggap sebagai tempat pendidikan pertama dan utama.
Pendidikan dalam keluarga bertujuan agar anak mempu mengembangkan secara maksimal potensi manusiawi yang ada pada dirinya secara kognitif, afektif, dan spiritual. Secara kodrati mendidik anak adalah tugas kedua orang tua karena dari keduanyalah anak akan mewarisi nilai dan karakter yang berbeda sesuai dengan fitrah tumbuh kembang anak. Setiap orang tua memiliki peran masing-masing, peran ibu dalam keluarga menjadi hal vital dikarenakan ibulah yang mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidik pada awal masa pertumbuhannya. Di samping itu, ayah memiliki peran sentral dalam keluarga, peran ayah tidak dibatasi sebagai sosok pencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi lebih dari itu ayah juga berperan sebagai pendidik.
Dampak dari fenomena “fatherless” ini seringkali tidak disadari atau diremehkan oleh masyarakat. Padahal, ketidakhadiran peran ayah dalam perkembangan psikologis dan emosional anak dapat memiliki konsekuensi jangka panjang. Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan aktif seorang ayah mungkin akan terus merasakan kekosongan dan kehilangan yang sulit diisi. Kekosongan peran ayah ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan anak, mulai dari pembentukan identitas, perkembangan sosial-emosional, hingga kemampuan membentuk hubungan yang sehat di masa depan. Anak-anak mungkin kesulitan dalam memahami peran gender yang seimbang, mengalami masalah kepercayaan diri, atau bahkan menghadapi tantangan dalam mengelola emosi mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan paradigma dalam masyarakat. Pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak perlu lebih ditekankan dan didukung. Edukasi tentang parenting yang melibatkan kedua orang tua secara aktif harus ditingkatkan. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang mendukung keterlibatan ayah, seperti cuti ayah setelah kelahiran anak, juga perlu diimplementasikan.
Dengan upaya bersama untuk mengubah stereotip dan mendorong keterlibatan ayah yang lebih besar dalam pengasuhan, kita dapat berharap untuk menciptakan generasi masa depan yang tumbuh dengan figur ayah yang kuat dan present secara emosional, sehingga dapat mengurangi dampak negatif dari fenomena fatherless.