Fakta Mengejutkan! Mahasiswa UI Jadi Tersangka Aksi May Day 2025
FYPMedia.ID – Seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Cho Yong Gi resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya usai terlibat dalam Aksi May Day 2025. Ironisnya, status tersangka tersebut diberikan saat dirinya bertugas sebagai tim medis, lengkap dengan atribut kemanusiaan seperti helm Palang Merah, bendera medis, dan peralatan P3K.
Penetapan ini memicu reaksi keras dari publik, akademisi, hingga aktivis HAM. Banyak pihak mempertanyakan logika di balik kriminalisasi seseorang yang justru mengambil peran penting dalam aspek kemanusiaan selama aksi berlangsung.
Baca Juga: https://fypmedia.id/demo-mahasiswa-aksi-indonesia-gelap/
Bertugas sebagai Tim Medis, Tapi Jadi Tersangka
Menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi, Cho Yong Gi adalah satu dari 14 orang yang kini berstatus tersangka akibat aksi yang terjadi pada 1 Mei 2025 di Jakarta. Cho diketahui merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Filsafat, FIB UI, yang saat aksi berlangsung menjalankan tugas sebagai petugas medis lapangan.
“Yang kami sesalkan, Cho Yong Gi sedang bertugas sebagai tim medis lengkap dengan atribut dan perlengkapan medis. Tapi tetap ditangkap bahkan mengalami kekerasan,” ujar Ikhaputri Widiantini, Ketua Prodi Ilmu Filsafat UI, dalam pernyataan pers di Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Kejadian ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Dalam standar hukum internasional, petugas medis dalam demonstrasi damai memiliki perlindungan khusus yang tak boleh diganggu, apalagi ditangkap.
Penangkapan Diwarnai Kekerasan Fisik
Tak hanya ditangkap, Cho Yong Gi juga mengalami kekerasan fisik saat proses penangkapan berlangsung. Hal ini jelas menjadi perhatian serius, apalagi mengingat peran vital tim medis dalam mengurangi risiko luka atau nyawa hilang selama aksi demonstrasi.
“Penangkapan disertai kekerasan terhadap peserta aksi menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen aparat pada prinsip perlindungan sipil,” tambah Ikhaputri.
Disangkakan Pasal KUHP karena Tidak Membubarkan Diri
Yang makin mengejutkan, Cho tidak dikenai pasal pengrusakan atau kekerasan, tetapi hanya dikenakan Pasal 216 dan 218 KUHP karena tidak mematuhi perintah aparat untuk membubarkan diri.
“Tuduhannya bukan pengrusakan atau anarkisme, melainkan karena dianggap tidak patuh terhadap perintah pembubaran,” ujar Taufik Basari, aktivis HAM sekaligus politisi yang ikut mengawal kasus ini.
Pasal 216 dan 218 KUHP dikenal sebagai pasal “karet” yang sering digunakan untuk membubarkan aksi massa, meski dalam praktiknya sering tumpang tindih dengan hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Mahasiswa UI Dibidik, Akademisi Bereaksi
Penetapan tersangka terhadap mahasiswa aktif seperti Cho Yong Gi menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi. UI sebagai institusi pendidikan tinggi menilai bahwa langkah hukum ini dapat mengancam ruang demokrasi kampus, apalagi terhadap mahasiswa yang sedang belajar partisipasi aktif dalam masyarakat sipil.
“Kami percaya institusi kepolisian memiliki tanggung jawab besar menjaga keseimbangan antara ketertiban umum dan hak asasi warga negara,” kata Ikhaputri.
Prodi Filsafat FIB UI bahkan menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal proses hukum ini, serta memastikan bahwa hak-hak Cho sebagai warga negara dan mahasiswa tetap terlindungi.
Ancaman Terhadap Demokrasi?
Kasus ini membuka kembali diskusi serius tentang ruang demokrasi yang menyempit, terutama pada era pasca pandemi. Penetapan tersangka terhadap petugas medis bukan hanya soal hukum, tapi refleksi bagaimana negara melihat aktivisme dan peran mahasiswa di ruang publik.
“Kalau petugas medis saja bisa ditangkap, bagaimana dengan peserta aksi lainnya?” ujar salah satu anggota tim advokasi.
Reaksi Publik dan Potensi Efek Domino
Kasus Cho Yong Gi tidak berdiri sendiri. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Jika petugas medis yang jelas-jelas menjalankan tugas kemanusiaan bisa dijadikan tersangka, bagaimana nasib para peserta aksi yang hanya menyuarakan aspirasi secara damai?
Fenomena ini memperkuat kekhawatiran masyarakat sipil bahwa kriminalisasi terhadap mahasiswa dan aktivis makin marak. Bahkan, tak sedikit yang menilai bahwa pendekatan aparat dalam menangani demonstrasi telah bergeser dari semangat melindungi warga menjadi menekan suara kritis.
Organisasi mahasiswa lintas kampus pun mulai bergerak. Seruan untuk solidaritas, aksi damai lanjutan, hingga penggalangan petisi daring mulai tersebar. Tagar #SaveYongGi dan #MedisBukanKriminal menjadi trending di X (Twitter), Instagram, hingga TikTok.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia berkewajiban menghormati kebebasan sipil dan hak-hak konstitusional, termasuk hak atas kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat. Kasus ini menjadi ujian nyata: apakah negara akan berpihak pada prinsip hukum dan keadilan, atau terus membiarkan praktik represif terhadap generasi muda yang kritis?
Seruan Hentikan Kriminalisasi Aktivis dan Petugas Kemanusiaan
Berbagai organisasi masyarakat sipil menyuarakan penolakan terhadap kriminalisasi mahasiswa, khususnya yang menjalankan peran non-kekerasan seperti medis, dokumentasi, atau keamanan sipil.
Tagar #BebaskanYongGi mulai viral di media sosial, menjadi simbol perlawanan publik terhadap represi atas aktivisme damai. Aksi solidaritas juga mulai digalang oleh jaringan mahasiswa, alumni UI, serta komunitas HAM di seluruh Indonesia.
Baca Juga: https://fypmedia.id/dosen-ugm-dukung-aksi/
Apa Selanjutnya?
Proses hukum masih terus berjalan. Namun harapan besar disuarakan publik agar polisi membatalkan status tersangka terhadap Cho Yong Gi dan rekan-rekannya. Terutama mempertimbangkan dampak akademik, psikologis, dan masa depan para mahasiswa yang kini tersangkut hukum akibat menyuarakan hak yang dijamin konstitusi.