Rp500 Juta untuk Clubbing, Luka untuk Anak: Suara Hati Uya Kuya

Rp500 Juta untuk Clubbing, Luka untuk Anak: Suara Hati Uya Kuya

FYP Media.ID – Pada Rabu, 30 April 2025 – Tak ada orang tua yang siap melihat anaknya menderita terutama ketika penderitaan itu datang dari tempat yang seharusnya menjadi ruang belajar, tumbuh, dan mengabdi. Itulah yang kini dirasakan Uya Kuya, sosok publik figur yang dikenal ceria, namun kali ini tampil dengan nada kecewa dan luka mendalam. Lewat pernyataannya di media, ia membongkar sebuah kenyataan pahit yang dialami anaknya selama menjalani pendidikan dokter spesialis: perundungan, kekerasan, dan tekanan finansial yang sangat jauh dari nilai-nilai pendidikan.

Dalam ceritanya, Uya mengungkap bahwa sang anak bukan hanya mendapat tekanan verbal, tapi juga sempat menjadi korban kekerasan fisik dipukuli, dipermalukan. Tak berhenti di situ, yang membuat publik lebih terperangah adalah pernyataan bahwa anaknya pernah diminta membayar biaya “clubbing” hingga mencapai Rp500 juta. Angka yang tak hanya mengagetkan, tapi juga mengundang tanya besar: bagaimana mungkin pendidikan yang semestinya membentuk karakter dan keahlian justru menjadi ruang intimidasi dan eksploitasi?

Cerita ini dengan cepat menyebar dan menyentuh hati banyak orang. Di media sosial, ratusan bahkan ribuan komentar membanjiri kolom-kolom berita yang mengangkat kasus ini. Banyak yang tak percaya, banyak pula yang mengaku tidak terkejut karena rupanya, praktik serupa sudah lama didengar, namun jarang disuarakan. Keberanian Uya membuka luka ini seakan menjadi pemantik bagi mereka yang selama ini memilih diam. Ia tak hanya bicara sebagai seorang ayah, tapi sebagai suara bagi banyak korban yang tak mampu bersuara.

Bayangkan, seorang mahasiswa yang sedang berjuang menjadi dokter profesi yang begitu dihormati dan diandalkan masyarakat harus melalui tekanan semacam ini. Dalam diam, mereka mungkin belajar menyuntik pasien sambil menahan trauma; menghafal protokol medis sambil menangis diam-diam di balik dinding rumah sakit; memeriksa denyut nadi orang lain sementara jantung mereka sendiri berdebar karena rasa takut pada senior yang siap membentak, bahkan memukul.

Baca Juga : Tinjauan Medis: Dampak Psikologis dan Etika Kedokteran dalam Kasus Residen Anestesi FK Unpad

Lebih memilukan lagi, semua ini terjadi dalam sistem yang selama ini tampak rapi dan profesional. Dalam seragam putih, mereka tampak gagah. Namun siapa sangka, di balik jas dokter itu, ada jiwa-jiwa yang remuk karena sistem yang membiarkan kekuasaan berbicara lebih lantang daripada etika?

Masyarakat kini mulai menoleh serius. Banyak yang bertanya: bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa institusi pendidikan bisa begitu sunyi saat ada yang disakiti? Apakah tekanan, kekerasan, dan budaya senioritas ekstrem adalah harga yang harus dibayar demi gelar dan profesi?

Pendidikan seharusnya membentuk pribadi yang kuat lewat bimbingan, bukan tekanan. Lewat pembinaan, bukan pemaksaan. Lewat penghormatan, bukan penghinaan. Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kalimat seperti “dulu saya juga digituin” sebagai pembenaran atas kekerasan yang terus diwariskan turun-temurun. Jika luka diturunkan, maka pendidikan hanya menjadi tempat melahirkan trauma kolektif.

Kini, publik menantikan langkah nyata. Bukan hanya klarifikasi, bukan hanya investigasi formalitas, tetapi keadilan bagi korban, dan bagi masa depan pendidikan kedokteran di negeri ini. Kementerian, universitas, asosiasi profesi, hingga para pendidik di ruang-ruang kuliah dan rumah sakit: semua memiliki peran penting untuk memastikan ini tidak terjadi lagi. Dunia pendidikan adalah jalan pengabdian, bukan tempat menyembunyikan kekerasan di balik senyum profesionalisme.

Keberanian Uya membuka luka ini patut diapresiasi. Ia telah mengangkat topik sensitif ke permukaan, bukan untuk mencari simpati, tapi agar tak ada lagi yang terluka dalam diam. Ini bukan sekadar cerita seorang ayah dan anak, tapi tentang sistem, tentang masa depan, tentang bagaimana kita ingin anak-anak kita tumbuh dalam ruang belajar yang aman, manusiawi, dan penuh martabat.

Baca Juga : Skandal Pemerasan di PPDS Undip: Fakta Mengejutkan Perputaran Uang Rp 2 Miliar

Dan untuk para mahasiswa yang saat ini sedang berjuang di ruang-ruang pendidikan dengan tekanan tak kasat mata semoga cerita ini menjadi pelita. Bahwa kamu tidak sendiri. Bahwa suara bisa menjadi senjata. Dan bahwa perubahan dimulai dari keberanian untuk tidak lagi diam. Karena pendidikan sejatinya bukan hanya soal menjadi pintar, tapi juga soal menjadi manusia.