FYP Media.ID – Pada Jumat, 4 April 2025 – Hujan deras yang tak berhenti sejak pagi hari telah berubah menjadi mimpi buruk bagi warga Pacet, Kabupaten Mojokerto. Kamis sore, 3 April 2025, tanah longsor menimpa ruas jalan utama di Dusun Mligi, Desa Claket, membawa serta tanah, batu, dan pohon-pohon besar yang menghantam siapa saja yang berada di jalurnya. Salah satu korban masih terjebak di dalam mobil yang terkubur material longsoran hingga saat ini.
Mobil berwarna putih itu, yang tadinya hanya kendaraan biasa di antara lalu lintas sore hari, kini menjadi pusat perhatian dan harapan. Di dalamnya, masih ada satu jiwa yang belum berhasil diselamatkan. Namanya Siti Nurhaliza, 29 tahun. Seorang guru honorer dari Jombang. Ia sedang dalam perjalanan ke Pacet untuk menghadiri pelatihan pendidikan. Dua rekannya yang bersamanya dalam mobil itu sudah berhasil dievakuasi lebih dulu—luka-luka, tapi selamat. Namun Siti, masih menunggu untuk ditemukan.
Tim SAR gabungan telah bekerja tanpa henti. Mereka menggali, mengeruk, menyingkirkan puing dan tanah dengan ekskavator dan peralatan manual. Cuaca yang belum bersahabat membuat segalanya semakin sulit. Hujan yang kembali turun membuat tanah makin labil dan berisiko longsor susulan. Meski begitu, para petugas tak surut semangat. Mereka tahu, nyawa seseorang mungkin sedang bergantung pada kecepatan dan kehati-hatian mereka.
Di antara kerumunan di lokasi kejadian, seorang pria paruh baya berdiri di bawah payung. Wajahnya murung, matanya sembab. Ia adalah Mukhlis, ayah dari Siti. Sejak dini hari, ia sudah berada di sana. Menunggu. Berdoa. “Anak saya orangnya kuat. Saya yakin dia masih bertahan di dalam sana,” katanya lirih, nyaris tak terdengar di tengah suara mesin berat dan guyuran gerimis. Kalimat itu bukan sekadar harapan. Itu doa seorang ayah yang menolak kehilangan.
Bupati Mojokerto, Ikfina Fahmawati, juga datang langsung ke lokasi. Ia meninjau posko darurat dan memberikan dukungan penuh kepada tim evakuasi. Dalam keterangannya, ia mengajak seluruh warga untuk turut mendoakan dan tetap waspada. “Ini bukan hanya tugas pemerintah. Ini tanggung jawab kita bersama untuk saling menjaga, terutama di masa rawan seperti ini,” ujarnya.
Baca Juga : Banjir Aceh Selatan: 7 Desa Terendam, Ratusan Warga Mengungsi dalam Kepungan Air
Peristiwa ini memang bukan kali pertama. Daerah Pacet sudah lama dikenal sebagai wilayah rawan longsor. Lereng-lereng curam, alih fungsi lahan, dan minimnya sistem drainase membuat bencana seperti ini bisa datang kapan saja saat musim hujan. Namun, tetap saja, tak ada yang benar-benar siap saat bencana datang membawa korban yang kita kenal, yang kita cintai.
Pakar geologi, Prof. Yusran Al-Farizi dari Universitas Brawijaya, menekankan bahwa ini saatnya kita berhenti bersikap reaktif. “Kita harus membangun kesadaran jangka panjang. Bukan hanya soal membangun tanggul atau jalur evakuasi, tapi juga merawat alam, menghargai batasannya,” tegasnya.
Di tengah kondisi mencekam itu, semangat gotong royong masyarakat justru tampak menyala. Warga membuka dapur umum, menyediakan makanan dan air hangat untuk petugas. Komunitas-komunitas lokal turut membantu proses pencarian. Bahkan di media sosial, gelombang simpati mengalir deras. Tagar #PrayForMojokerto menjadi trending. Beberapa influencer ikut menyerukan dukungan moral dan mengajak masyarakat berdonasi untuk membantu korban serta tim relawan.
Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana rasanya menunggu kabar dari seseorang yang masih terjebak di bawah tanah selama lebih dari 24 jam. Di balik setiap sekop tanah yang disingkirkan, ada harapan. Di balik setiap suara alat berat yang menderu, ada doa. Semua berharap Siti bisa ditemukan dalam keadaan selamat. Harapan itu belum padam.
Baca Juga : Status Darurat Bencana Banjir Kota Sungai Penuh
Kini, seluruh perhatian tertuju pada proses evakuasi yang masih berlangsung. Semua bergerak. Semua berdoa. Waktu menjadi hal yang paling berharga saat ini. Karena setiap menit bisa menentukan nasib satu kehidupan.
Tragedi ini meninggalkan luka mendalam. Tapi ia juga mengajarkan kembali tentang pentingnya kesiapsiagaan, tentang tanggung jawab kita pada alam, dan tentang kuatnya rasa kemanusiaan. Dari tanah yang runtuh, kita menyaksikan bagaimana solidaritas bisa tumbuh. Bagaimana duka bisa menyatukan.
Mojokerto berduka, namun tidak sendiri. Ada begitu banyak tangan yang siap mengangkat, membantu, dan mendukung. Kita hanya bisa berharap semoga proses evakuasi Siti Nurhaliza segera membuahkan kabar baik. Dan semoga tak ada lagi tangis kehilangan karena kita lalai menjaga rumah bersama: alam dan sesama.