Tragedi Mudik Lebaran 2025: Longsor di Pacet-Cangar Renggut 10 Nyawa

Tragedi Mudik Lebaran 2025: Longsor di Pacet-Cangar Renggut 10 Nyawa

FYP Media.ID – Pada Sabtu, 5 April 2025 – Lebaran adalah waktu yang selalu ditunggu-tunggu. Momen sekali dalam setahun di mana orang-orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Mereka rela menempuh perjalanan jauh, menembus macet, hujan, dan malam hari demi satu hal: berkumpul bersama orang tercinta. Namun, di balik haru dan hangatnya mudik, jalur Pacet-Cangar menyimpan kisah duka mendalam. Bencana longsor yang terjadi pada Jumat malam, 4 April 2025, merenggut 10 nyawa dalam sekejap. Perjalanan pulang mereka tak pernah sampai.

Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 21.30 WIB, di tengah guyuran hujan deras yang sejak sore membasahi kawasan pegunungan antara Mojokerto dan Batu, Jawa Timur. Tanah yang sudah jenuh air tak mampu lagi menahan beban. Tiba-tiba saja, lereng pegunungan longsor, meluluhlantakkan jalan yang tengah dilalui para pemudik. Tak ada tanda, tak ada waktu untuk menghindar.

Dua mobil pribadi dan satu minibus tertimbun material longsor berupa tanah, batu besar, dan batang pohon. Suasana yang sebelumnya penuh harap dan semangat mudik berubah menjadi kepanikan. Teriakan minta tolong, tangis keluarga, dan isak petugas yang menemukan korban dalam kondisi mengenaskan mewarnai malam kelam itu.

Baca Juga : Pemudik Lebaran 2025 Diprediksi Menurun, Apa Pengaruh Ekonomi Terhadap Tradisi Mudik?

Petugas dari BPBD, TNI, Polri, Basarnas, relawan, dan warga sekitar bergerak cepat. Mereka menerobos gelap dan hujan, menggali tanah dengan cangkul, sekop, bahkan tangan kosong demi menyelamatkan siapa pun yang mungkin masih hidup. Tapi kenyataan tak sebaik harapan. Hingga pagi menjelang, 10 jasad ditemukan tak bernyawa.

Korban adalah para pemudik yang ingin lebih cepat sampai ke tujuan. Mereka memilih jalur Pacet-Cangar untuk menghindari kemacetan parah di jalur utama. Sebagian dari mereka berasal dari Surabaya dan Sidoarjo, hendak menuju Malang. Tujuh orang lainnya selamat, namun mengalami luka serius dan kini dirawat di RSUD Mojokerto.

Di rumah sakit dan posko pengaduan, suasana tak kalah mengharukan. Keluarga datang dengan wajah cemas, membawa foto, berusaha memastikan apakah orang yang mereka cintai termasuk dalam daftar korban. Proses identifikasi oleh tim DVI masih berlangsung, tapi duka sudah lebih dulu menyelimuti.

Pemerintah Kabupaten Mojokerto langsung menetapkan status tanggap darurat bencana. Jalur Pacet-Cangar resmi ditutup hingga batas waktu yang belum ditentukan. Rambu peringatan dan pengalihan arus mulai disebar. Namun, semua itu tak bisa menghapus kenyataan bahwa 10 orang kehilangan nyawanya di jalan yang seharusnya mengantar mereka pulang.

Baca Juga : Antusiasme Tinggi! 11 Ribu Pemudik Motor Menyeberang ke Sumatera via Pelabuhan Ciwandan

Bupati Mojokerto, Ikhsan Soewondo, menyampaikan belasungkawa dan janji akan melakukan evaluasi menyeluruh. Tidak hanya pada jalur ini, tapi juga pada semua jalur alternatif mudik yang melintasi kawasan rawan bencana. Menurutnya, kemacetan tak boleh menjadi alasan untuk menyepelekan keselamatan.

Jalur Pacet-Cangar memang cantik. Pemandangannya memanjakan mata, udaranya sejuk, suasananya tenang. Tapi keindahan itu ternyata menyimpan ancaman yang mematikan. Dengan kontur tanah pegunungan dan curah hujan tinggi, jalur ini sebenarnya punya potensi longsor yang besar. Sayangnya, tak banyak pemudik yang menyadari atau mendapat peringatan yang cukup.

Dr. Luki Arifin, pakar transportasi dari ITS Surabaya, menilai tragedi ini sebagai alarm keras bagi kita semua. Ia menekankan pentingnya sistem mitigasi bencana yang lebih kuat. Tidak cukup dengan sekadar rambu peringatan. Kita butuh sensor gerakan tanah, pos pemantauan aktif, dan edukasi publik yang terus-menerus.

Mudik bukan hanya soal pulang. Ia adalah tentang harapan. Tentang makan opor bersama ibu, salat Id di kampung halaman, melihat wajah tua yang sudah lama dirindukan. Karena itu, keselamatan dalam perjalanan seharusnya menjadi prioritas, bukan sekadar pilihan.

Untuk para pemudik, ini juga jadi pengingat. Jangan mengambil jalur alternatif hanya karena terlihat lebih cepat. Selalu cek prakiraan cuaca, ikuti arahan petugas, dan jangan berkendara malam hari di jalur yang rawan bencana. Lebih baik terlambat sampai, daripada tak pernah sampai sama sekali.

Hari itu, sepuluh orang tidak pernah sampai ke rumah. Kursi makan mereka kosong, panggilan video yang dijanjikan tak pernah tersambung. Cerita mereka berakhir di lereng pegunungan yang sepi, di tengah tanah longsor yang tak memberi ampun.

Semoga mereka diberi tempat terbaik di sisi Tuhan. Dan semoga kita semua belajar: bahwa di balik euforia mudik, ada tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa perjalanan pulang bukan akhir dari segalanya.