KPK Temukan 7 Potensi Masalah dalam Tata Kelola dan Ekspor Nikel 2023
FYPMedia.ID – Kajian KPK ungkap 7 potensi kerawanan dalam tata kelola dan ekspor nikel, mulai dari izin tambang bermasalah hingga lemahnya pengawasan teknis.Tata kelola dan ekspor nikel di Indonesia kembali disorot tajam. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil kajian strategis yang mengungkap setidaknya 7 potensi kerawanan besar dalam pengelolaan industri nikel selama tahun 2023.
Kajian ini dilakukan oleh Direktorat Monitoring KPK, yang memetakan titik-titik rawan korupsi dan pelanggaran sistemik, baik dari aspek perizinan, pelaksanaan tambang, hingga proses ekspor. Temuan ini menyulut keprihatinan banyak pihak, mengingat nikel merupakan salah satu komoditas vital dalam transisi energi dan industri kendaraan listrik.
Baca Juga: Ekspor RI Tembus USD 23,25 Miliar pada Maret 2025, Sinyal Positif di Tengah Tantangan Global
1. Izin Tambang Bermasalah, Banyak yang Tak Sesuai Ketentuan
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut bahwa mekanisme perizinan tambang nikel banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam beberapa kasus, izin bahkan dikeluarkan di luar wilayah konsesi, atau tanpa verifikasi yang layak.
“Dari hulu sampai hilir, potensi penyimpangan sangat besar. Salah satunya dari sisi perizinan yang tidak sah atau cacat prosedur,” kata Budi di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
Masalah ini bukan hanya administratif, tapi juga membuka celah bagi praktik korupsi, pemalsuan dokumen, dan kolusi antar oknum pejabat dan pengusaha tambang.
2. Penambangan di Kawasan Hutan Tanpa Izin
Salah satu temuan paling mencolok adalah praktik penambangan ilegal di kawasan hutan, tanpa izin pelepasan kawasan atau persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Aktivitas ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga melanggar hukum kehutanan dan berpotensi memicu kerugian negara dalam jangka panjang.
Banyak perusahaan tambang yang menabrak batas hukum demi mengejar target produksi, apalagi setelah harga nikel meroket di pasar global sejak 2021.3. Jaminan Reklamasi dan Pascatambang Tidak Tertib
3. Jaminan dan pengawasan terhadap jaminan reklamasi dan pascatambang
Padahal, jaminan ini merupakan komitmen perusahaan untuk memulihkan lahan setelah eksploitasi selesai.
“Pendataan dan pengawasan jaminan reklamasi masih sangat lemah. Banyak perusahaan yang belum menyetorkan dana jaminan sesuai ketentuan,” ungkap Budi.
Ketika tambang ditinggalkan tanpa reklamasi, masyarakat sekitar jadi korban utama: dari tanah rusak, air tercemar, hingga potensi bencana ekologis.
4. Legalitas Ekspor Nikel Dipertanyakan
Dari kajian kedua yang fokus pada ekspor nikel, KPK menemukan indikasi ekspor ilegal dan dokumen ekspor yang bermasalah. Beberapa perusahaan diketahui mengekspor nikel tanpa memiliki dokumen verifikasi yang sah.
“Ada ketidaksesuaian antara kuota ekspor yang dilaporkan dengan volume aktual yang dikirim ke luar negeri,” jelas Budi.
Hal ini sangat merugikan negara, sebab ekspor nikel yang tidak terdata resmi akan mengurangi penerimaan negara dan membuka celah pencucian uang.
5. Verifikasi Teknis yang Lemah dan Rawan Manipulasi
KPK mencatat adanya kelemahan pada sistem verifikasi teknis dalam proses ekspor. Di beberapa kasus, hasil uji kadar nikel bisa dimanipulasi demi menghindari bea keluar atau pajak ekspor tertentu.
Ketidakjelasan standar dan lemahnya pengawasan membuat data kadar nikel sering berbeda antara yang dilaporkan di pelabuhan Indonesia dan hasil verifikasi di negara tujuan.
6. Tumpang Tindih Regulasi dan Kurangnya Integrasi Data
Permasalahan lain yang ditemukan adalah tumpang tindihnya aturan antar instansi. Banyak regulasi dari Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan instansi lain yang tidak sinkron.
“Data perizinan, ekspor, dan produksi tidak terintegrasi. Hal ini membuat pengawasan lintas sektor menjadi lemah,” ujar Budi.
Ketidaksinkronan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi laporan produksi atau mengekspor di luar jalur resmi.
7. Kurangnya Koordinasi Lintas Lembaga
Menurut KPK, lemahnya pengawasan juga diperburuk oleh minimnya koordinasi antar lembaga pengawas, termasuk pemerintah daerah. Banyak daerah yang tidak memiliki sistem pemantauan produksi tambang yang memadai, sehingga bergantung pada laporan sepihak dari perusahaan.
Rekomendasi KPK: Reformasi Tata Kelola Tambang Segera
Menanggapi temuan tersebut, KPK menyusun sejumlah rekomendasi sistemik yang akan diserahkan kepada pemerintah pusat dan daerah, termasuk perbaikan mekanisme perizinan, peningkatan transparansi ekspor, serta digitalisasi pengawasan tambang.
“Kami harap rekomendasi ini bisa menjadi rujukan untuk perbaikan tata kelola nikel yang lebih bersih, transparan, dan akuntabel,” kata Budi.
Ketua KPK: Perlu Verifikasi Lanjutan
Sementara itu, Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan bahwa ia masih perlu mengecek kembali secara menyeluruh temuan kajian tersebut sebelum menyampaikannya kepada publik secara resmi.
“Saya perlu pastikan lagi datanya. Mohon waktu. Saya akan cek kembali,” ujarnya singkat saat dikonfirmasi wartawan.
Dampak Jangka Panjang Jika Tak Ditindak
Nikel adalah komoditas strategis bagi Indonesia dalam transisi energi dan produksi baterai kendaraan listrik (EV). Jika tata kelola dan ekspornya tidak dibenahi, Indonesia bisa kehilangan kepercayaan pasar global, serta membuka peluang bagi eksploitasi lingkungan dan kerugian negara yang lebih besar.
KPK menegaskan bahwa hasil kajian ini akan dikawal dan menjadi dasar langkah lebih lanjut, baik dalam bentuk pencegahan maupun penindakan hukum terhadap oknum yang terbukti melakukan pelanggaran.
Baca Juga: Indonesia Bangun Kilang Minyak Raksasa! Kilang Minyak Raksasa, Kilang Minyak 500.000 Barel Per Hari, Kilang Minyak untuk Ketahanan Energi Nasional!
Momentum Benahi Tata Kelola Nikel Sekarang
Temuan ini adalah peringatan serius bahwa tata kelola sumber daya alam tidak boleh dibiarkan lepas kendali. Dengan kekayaan nikel yang dimiliki Indonesia, sudah semestinya pengelolaannya memberikan manfaat maksimal untuk rakyat—bukan segelintir elite.
Apakah pemerintah siap berbenah dan mengakhiri tata kelola yang rawan korupsi ini? Atau justru membiarkan industri nikel jadi ladang permainan gelap?