Sunyi dalam Gemuruh: Rp 984 Triliun dan Diamnya Negara

Sunyi dalam Gemuruh: Rp 984 Triliun dan Diamnya Negara

Sunyi dalam Gemuruh: Rp 984 Triliun dan Diamnya Negara

FYPMedia. ID – Di tengah kegaduhan politik, berita-berita selebritas, dan hiruk-pikuk konten media sosial yang terus membanjiri ruang publik, sebuah angka mencuat dalam keheningan yang mencekam: Rp 984 triliun. Angka ini bukan sekadar barisan digit di laporan tahunan. Ia adalah representasi dari bahaya laten korupsi dalam skala yang sulit dibayangkan, yang ditemukan dan diumumkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Angka yang cukup fantastis

Angka itu bukan hasil terkaan. Bukan pula bisik-bisik intelijen tanpa dasar. Ini adalah hasil pemantauan resmi dari lembaga yang bertugas mengawasi transaksi mencurigakan terkait tindak pidana, termasuk korupsi dan pencucian uang. Dalam laporan PPATK, disebutkan bahwa sepanjang tahun 2024, mereka menemukan total transaksi keuangan senilai Rp 984 triliun yang terindikasi berkaitan dengan korupsi. Nilai itu setara dengan lebih dari separuh total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia.

Namun, yang mengejutkan bukan hanya besarnya angka tersebut, melainkan respons yang muncul setelahnya: diam. Negara tampak tak bersuara. Pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan resmi. Lembaga penegak hukum belum menunjukkan tanda-tanda gerak cepat. Bahkan, sebagian besar media hanya menyorot berita ini sepintas lalu, seolah angka hampir seribu triliun rupiah bisa disejajarkan dengan statistik biasa.

Padahal, dalam demokrasi yang sehat, negara seharusnya bekerja dalam senyap namun menjelaskan dalam gaduh. Ketika ada kejanggalan besar yang menyentuh uang rakyat, negara tidak cukup hanya diam. Ia harus tampil di hadapan publik, menjelaskan, memberi jaminan bahwa sistem berjalan, bahwa hukum ditegakkan, bahwa pelaku—siapa pun mereka—akan diusut dan dihukum.

Yang terjadi justru sebaliknya. Dalam sunyi yang menggema, publik bertanya-tanya: Apakah negara masih hadir? Atau, jangan-jangan, negara ikut larut dalam sistem yang rusak, terperangkap dalam jaring-jaring kekuasaan yang justru melindungi, bukan menghukum?

Angka Rp 984 triliun tidak hanya menunjukkan potensi kerugian negara. Ia mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengawasan keuangan, dalam transparansi pengelolaan dana publik, serta dalam penegakan hukum. Di balik angka itu, ada kemungkinan besar keterlibatan aktor-aktor besar—korporasi, pejabat tinggi, jaringan mafia anggaran—yang bermain dalam senyap, dengan kekuatan untuk membungkam, memanipulasi, bahkan meniadakan hukum.

Publik, sebagai pemilik sah negara ini, berhak mengetahui ke mana arah uang mereka mengalir. Mereka berhak atas keadilan, atas transparansi, atas pemerintahan yang bertanggung jawab. Diamnya negara bukan hanya abai. Ia bisa menjadi bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusional untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

 

Lebih dari sekadar nilai ekonomi, Rp 984 triliun mencerminkan kegagalan sistemik. Ia merefleksikan lemahnya pengawasan, rendahnya akuntabilitas, dan barangkali, kuatnya pengaruh aktor-aktor tak tersentuh yang menggerogoti negeri dari dalam.

Hal Ini bukan praktik korupsi biasa

Apalagi, kita tidak sedang berbicara soal praktik korupsi biasa. Ini adalah indikasi dalam skala triliunan rupiah—angka yang mencerminkan sistem yang bobrok, bukan hanya oknum. Dan ketika sistem telah rusak, maka pembenahan tidak cukup dengan slogan atau pencitraan. Ia membutuhkan ketegasan, keberanian, dan—yang paling penting—niat politik (political will) yang sungguh-sungguh.

 

Dalam kondisi seperti ini, suara publik menjadi sangat penting. Di tengah kebisuan negara, masyarakat sipil, media, akademisi, dan organisasi antikorupsi harus bersatu membentuk gelombang tekanan moral yang tidak bisa diabaikan. Kita tidak bisa hanya berharap pada sistem yang selama ini gagal. Kita harus menciptakan ruang kontrol, ruang pengawasan, dan ruang kritik yang tidak bisa ditutup dengan mudah.

Kita harus terus bertanya: siapa yang harus bertanggung jawab atas angka Rp 984 triliun ini? Apa langkah konkret dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Bagaimana tindak lanjut dari Kepolisian dan Kejaksaan? Apakah DPR akan menggunakan hak angket atau hak interpelasinya? Ataukah semuanya akan berlalu begitu saja, hingga laporan tahun depan menyodorkan angka yang lebih mengejutkan lagi?

Publik harus menolak untuk melupakan. Karena korupsi bukan sekadar pencurian uang. Ia adalah pencurian masa depan. Setiap rupiah yang dikorupsi adalah satu jembatan yang tidak jadi dibangun, satu sekolah yang tak punya fasilitas, satu rumah sakit yang kekurangan alat, satu beasiswa yang gagal diberikan.

Sunyi yang menggema ini adalah ujian bagi kita semua: apakah kita akan tunduk pada keheningan yang mengkhianati, atau kita akan memilih untuk bersuara dan menuntut keadilan?

Negara tidak boleh diam. Karena dalam diamnya negara, korupsi menemukan ruang untuk tumbuh—dan rakyat kehilangan harapan.