5 Sorotan Komisi III Setelah Mobil Polisi Dibakar Preman

5 Sorotan Komisi III Setelah Mobil Polisi Dibakar Preman

FYP Media.ID – Pada Selasa, 22 April 2025 – Jakarta kembali diguncang oleh aksi kriminal yang tak hanya meresahkan masyarakat, tetapi juga menampar kewibawaan aparat penegak hukum. Sebuah mobil dinas milik kepolisian dibakar di kawasan Demul, Jakarta Utara, dalam sebuah insiden yang diduga kuat sebagai bentuk perlawanan dari kelompok preman yang selama ini diburu dalam operasi penertiban. Insiden ini pun langsung menyita perhatian publik dan memantik reaksi keras dari Komisi III DPR RI.

Mobil tersebut diketahui tengah terparkir saat dilempari bom molotov oleh sekelompok orang tak dikenal. Beruntung, tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Namun, pesan yang ditinggalkan jelas: ada kelompok yang dengan berani menantang simbol negara secara terbuka.

Tak butuh waktu lama, Komisi III DPR RI menanggapi insiden tersebut dengan menyoroti kinerja Satgas Antipremanisme. Menurut Ketua Komisi III, H. Arif Nurdiansyah, peristiwa ini menjadi bukti bahwa keberadaan Satgas belum cukup memberikan efek jera maupun rasa aman di tengah masyarakat. Bahkan, menurutnya, kejadian ini harus menjadi alarm keras bagi aparat agar tidak terlena dengan rutinitas semata.

“Kalau preman sudah berani membakar mobil polisi, artinya mereka merasa tak takut sedikit pun. Ini bukan kriminal biasa, ini bentuk perlawanan yang terorganisir. Maka pendekatannya pun harus jauh lebih strategis, tak bisa sekadar patroli atau razia sesekali,” ujar Arif dalam rapat dengan kepolisian, Kamis (17/4).

Kritik tak berhenti di situ. Beberapa anggota Komisi III lain juga mempertanyakan seberapa besar dampak nyata yang sudah dihasilkan Satgas tersebut sejak dibentuk. Meski secara administratif terlihat aktif, namun di lapangan, aksi-aksi premanisme tetap marak terjadi, bahkan cenderung semakin berani.

Baca Juga : Kerangka Manusia dalam Mobil di Asrama Polisi Gresik Terungkap Berjenis Kelamin Laki-Laki

Warga di sekitar Demul pun membenarkan hal tersebut. Dalam wawancara dengan sejumlah media, mereka mengaku sudah terbiasa melihat aksi preman yang memalak, mengintimidasi, bahkan memukul warga, tanpa takut terlihat kamera pengawas atau disaksikan langsung oleh warga sekitar. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: di mana aparat ketika masyarakat membutuhkan perlindungan?

Menjawab sorotan ini, juru bicara Kepolisian Republik Indonesia, Kombes Pol. Hendra Wibowo, menyatakan pihaknya tidak akan tinggal diam. Ia menyebut bahwa tim khusus sudah diterjunkan untuk mengusut tuntas pelaku pembakaran, serta mengintensifkan patroli dan operasi di wilayah rawan.

“Kami pastikan tidak akan ada kompromi terhadap pelaku kekerasan terhadap aparat. Ini bukan hanya serangan fisik terhadap properti negara, tapi juga serangan terhadap wibawa hukum. Kami akan kejar pelaku sampai dapat, dan yang pasti, pengamanan akan ditingkatkan di wilayah-wilayah rawan,” tegas Hendra dalam konferensi pers di Mabes Polri.

Namun demikian, sebagian pengamat menilai bahwa pendekatan represif saja tidak akan cukup. Dr. Yulianto Prabowo, pengamat kriminologi dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa premanisme tumbuh subur karena ada ruang sosial yang membiarkannya. Dalam banyak kasus, preman justru hadir sebagai ‘penjaga wilayah’ yang mendapat toleransi dari sebagian kalangan, baik karena ketakutan, ketergantungan ekonomi, maupun karena lemahnya sistem penegakan hukum di level akar rumput.

“Kalau mau menyelesaikan masalah ini sampai ke akarnya, negara harus hadir bukan cuma dengan tongkat dan borgol, tapi juga dengan program sosial, pendidikan, dan ekonomi. Banyak pelaku premanisme adalah orang-orang yang sejak kecil sudah terbiasa hidup dalam kekerasan dan tidak punya akses ke peluang yang lebih baik,” jelas Yulianto.

Ia menambahkan, pendekatan berbasis komunitas dan pelibatan tokoh lokal bisa menjadi solusi jangka panjang. Ketika masyarakat merasa dilibatkan dan dilindungi, mereka akan lebih berani melawan premanisme dan tidak lagi takut untuk melapor.

Di sisi lain, masyarakat juga berharap agar insiden pembakaran ini bisa menjadi titik balik. Banyak yang sudah lelah hidup dalam bayang-bayang preman. Mereka butuh bukti nyata, bukan hanya janji. Dukungan terhadap aparat tetap tinggi, namun jika tidak disertai dengan langkah konkret, perlahan-lahan kepercayaan itu bisa luntur.

Baca Juga : Bekasi Memanas! Aksi Tolak RUU TNI Berujung Ricuh, 2 Mobil Polisi Dirusak Massa

Secara keseluruhan, insiden di Demul bukan sekadar kasus pembakaran. Ini adalah cermin dari masalah keamanan yang lebih besar. Negara harus hadir, tidak hanya untuk menangkap pelaku, tetapi juga untuk memulihkan rasa aman yang selama ini terkikis.

Menutup rapat, Komisi III mendesak laporan lengkap dari kepolisian dalam satu pekan ke depan. Evaluasi terhadap Satgas Antipremanisme pun diminta dilakukan secara menyeluruh. Kini bola ada di tangan aparat. Publik menunggu aksi nyata, bukan sekadar konferensi pers dan razia simbolis. Karena bagi masyarakat, rasa aman bukan sekadar slogan ia adalah kebutuhan paling mendasar.