Kenaikan PPN Jadi 12% di 2025, Reformasi Perpajakan atau Ancaman Konsumsi Rumah Tangga?

2025

FYPMedia.ID – Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, mengumumkan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku mulai 2025. 

Kebijakan ini, sebagaimana tercantum di laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, merupakan bagian dari upaya reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan negara.

Namun, rencana ini memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap konsumsi rumah tangga. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai kenaikan PPN berpotensi menaikkan harga barang dan jasa di pasaran.

Baca juga: Pendidikan Melalui Media Populer sebagai Alat Pembelajaran

“Perusahaan biasanya enggan menanggung kenaikan PPN sendiri, sehingga langkah yang paling mungkin adalah menaikkan harga jual barang atau jasa mereka,” ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/11).

Dengan meningkatnya harga barang dan jasa akibat penyesuaian PPN, daya beli masyarakat diperkirakan dapat tertekan. Hal ini menjadi perhatian serius, mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

PPN di Dunia: Ada Negara yang Bebas Pajak Pertambahan Nilai

Di tengah isu kenaikan PPN, laporan World Population Review mengungkapkan bahwa ada sekitar 20 negara di dunia yang tidak menerapkan PPN. Beberapa di antaranya bahkan merupakan negara maju, seperti Amerika Serikat, Hongkong, dan Brunei.

Berikut adalah daftar negara yang tidak menerapkan PPN:

  • Amerika Serikat
  • Hongkong
  • Brunei
  • Kuwait
  • Qatar
  • Kepulauan Cayman
  • Dan lainnya.

Baca juga: Pemerintah dan DPR berencana untuk melaksanakan kembali Program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty

Mengapa Ada Negara Tanpa PPN?

Negara-negara seperti Hongkong, Makau, dan Amerika Serikat dikenal sebagai tax haven atau surga pajak. Mereka menarik perusahaan untuk berinvestasi dengan cara menghapuskan PPN dan menggantinya dengan pajak lainnya, seperti bea cukai, biaya izin usaha, dan departure tax.

Strategi ini dinilai efektif untuk meningkatkan daya tarik investasi asing, meski tentu tidak cocok diterapkan di semua negara, termasuk Indonesia yang memiliki struktur ekonomi berbeda.

Kenaikan PPN menjadi 12% di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Namun, tantangan utama adalah memastikan agar kebijakan ini tidak mengorbankan konsumsi rumah tangga, yang merupakan motor penggerak utama perekonomian Indonesia.