FYPMEDIA.ID – Persoalan pengungsi Rohingya di Aceh masih menjadi perhatian Indonesia hingga saat ini. Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia mengungkapkan bahwa sudah ada sekitar seribu dua ratus pengungsi Rohingya yang tinggal di beberapa titik di Aceh, seperti Pidie, Bireuen, Aceh Timur, dan Sabang.
Pemerintah Indonesia tidak mengusir pengungsi Rohingya dan menghormati prinsip non-refoulement. Prinsip ini melarang negara untuk mengembalikan pengungsi ke negara asalnya jika ada ancaman serius terhadap kehidupan atau kebebasan mereka. Prinsip ini didasarkan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Menurut situs UNHCR, prinsip non-refoulement merupakan prinsip inti dari Konvensi 1951, yang melarang pengembalian pengungsi ke negara di mana mereka menghadapi ancaman serius terhadap kehidupan atau kebebasan mereka.
Konvensi 1951 memberikan definisi pengungsi yang diakui secara internasional dan menguraikan perlindungan hukum, hak-hak, dan bantuan yang diterima oleh pengungsi. UNHCR menggunakan konvensi ini sebagai dasar kerjanya untuk membantu melindungi pengungsi.
Dalam konvensi tersebut, dijelaskan standar minimum perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak atas perumahan, pekerjaan, dan pendidikan, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang bermartabat dan mandiri. Konvensi ini juga menetapkan kewajiban pengungsi terhadap negara yang menjadi tuan rumah dan menetapkan kategori orang tertentu, seperti penjahat perang, yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan status pengungsi.
Pada tahun 2015, Indonesia menyatakan tetap menampung pengungsi Rohingya dengan mematuhi prinsip non-refoulement, meskipun tidak terikat oleh Konvensi 1951. Saat itu, sekitar 583 warga negara Myanmar yang merupakan etnis Rohingya terdampar di perairan Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, Aceh. Pemerintah Indonesia memberikan tempat perlindungan dan bantuan makanan kepada mereka, tanpa mendorong mereka kembali ke laut.
Pemerintah Indonesia secara konsisten memberikan pertimbangan khusus berdasarkan prinsip kemanusiaan dan aspirasi HAM global, serta menghormati prinsip-prinsip kebiasaan internasional dalam penanganan pengungsi, termasuk non-refoulement. Hal ini juga tercermin dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, yang menjadi landasan normatif dan koordinatif bagi pemerintah dalam penanganan pengungsi.
Klik Disini Untuk Mendapatkan Informasi Terlengkap Dan Terbaru Lainnya