FYPMedia.id – Kementerian Koordinator Bidang Pangan menargetkan Indonesia dapat mencapai swasembada pangan, termasuk kedelai, pada 2028. Tapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri.
Sepanjang Januari hingga September 2024, Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,16 juta ton senilai US$1,15 miliar atau sekitar Rp18,14 triliun. Dari jumlah tersebut, AS mendominasi sebagai pemasok utama di Indonesia, dengan kontribusi impor senilai US$1,03 miliar atau sekitar Rp16,24 triliun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa volume impor kedelai Indonesia cenderung fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018, volumenya mencapai 2,58 juta ton dengan nilai impor mencapai US$1,1 miliar.
Pada 2023, volume impor sedikit menurun menjadi 2,27 juta ton dengan nilai US$1,47 miliar. Meskipun ada penurunan volume impor, ketergantungan terhadap kedelai impor masih sangat tinggi.
Baca juga: BUMN Torehkan Rekor Dividen Rp85,5 Triliun di 2024, Target 2025 Rp90 Triliun
Salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh ketergantungan ini adalah industri pengolahan makanan, terutama produksi tempe dan tahu.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, menyebutkan bahwa kebutuhan kedelai nasional diperkirakan mencapai 3 juta ton per tahun, namun produksi kedelai lokal hanya mampu mencakup sekitar 10% dari total kebutuhan tersebut. Hal ini membuat Indonesia terus mengimpor kedelai.
Harga Internasional Menurun
Salah satu faktor yang sedikit meringankan beban produsen tempe dan tahu adalah penurunan harga kedelai di pasar global. Berdasarkan data Trading Economics, harganya telah mengalami penurunan 25,18% pada tahun 2024, mencapai level US$9,92 per bushel.
Penurunan harga ini memberikan dampak positif bagi produsen tempe dan tahu, mengingat kedelai merupakan bahan baku utama dalam industri mereka. Dengan biaya bahan baku yang lebih rendah, produsen memiliki peluang untuk meningkatkan keuntungan mereka atau menjaga harga produk tetap stabil, sehingga dapat mempertahankan daya beli konsumen.
Selain itu, harga di tingkat pengecer juga mengalami penurunan yang signifikan. Pada awal Desember 2024, harga kedelai kering impor di tingkat pengecer tercatat sebesar Rp10.790 per kilogram, turun dari Rp13.430 per kilogram pada awal tahun.
Meski begitu, ketergantungan pada kedelai impor, khususnya dari AS, tetap menjadi masalah jangka panjang. Aip Syarifuddin menambahkan bahwa meskipun harga kedelai turun, permintaan domestik yang tinggi, terutama dalam industri tempe dan tahu, tetap membuat Indonesia terpaksa mengimpor kedelai dalam jumlah besar. Selain AS, Indonesia juga bergantung pada Kanada, Argentina, dan Malaysia untuk memenuhi kebutuhan.
Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan swasembada kedelai di Indonesia adalah rendahnya kemampuan produksi lokal dan petani cenderung lebih memilih menanam padi.
Baca juga: Ekonomi Indonesia 2025: Target 5,2% dan Proyeksi BI hingga 5,6%
“Kalau menanam kedelai satu hektare, petani bisa panen sekitar dua ton. Tapi kalau tanam padi satu hektare, mereka bisa panen hingga enam ton, sehingga lebih produktif dan potensi untungnya lebih besar,” ungkap Aip.
Kondisi ini membuat sentra produksi kedelai di Indonesia sangat terbatas, hanya terdapat di beberapa wilayah seperti Kalimantan Tengah dan Papua.
Meskipun kedelai lokal diakui memiliki kualitas dan cita rasa yang lebih baik, petani belum tertarik untuk mengembangkan budidaya kedelai. Salah satu alasan utama adalah perbandingan keuntungan yang lebih besar dari menanam komoditas lain, seperti padi, yang hasil panennya lebih tinggi dan memberikan margin keuntungan yang lebih menjanjikan.
Gakoptindo juga menilai bahwa pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih menarik, seperti subsidi harga benih, pupuk, atau jaminan pembelian hasil panen dengan harga yang kompetitif. Langkah ini penting untuk mendorong minat petani dalam menanam kedelai dan mengurangi ketergantungan pada kedelai impor.
Selain itu, Aip juga berharap agar pemerintah dapat memperkuat kebijakan terkait peningkatan produksi kedelai dan pemberian teknologi pertanian yang lebih baik. Hal ini penting agar kedelai lokal bisa bersaing dengan kedelai impor, serta membantu Indonesia mencapai swasembada kedelai pada 2028 mendatang.
Sehingga dengan adanya penurunan harga kedelai di pasar internasional, diharapkan Indonesia dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan produksi kedelai lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor.