Fypmedia.id – Baru – baru ini jagat media sosial dihebohkan dengan beredarnya video seorang wanita di wilayah Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menjadi korban ‘Kawin Tangkap’. Menurut informasi yang beredar, peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis, 7 September 2023. Cuplikan video tersebut memperlihatkan seorang wanita yang berada di atas sepeda motor sendirian, lalu datang sekelompok pria memboyong dan mengangkut wanita malang tersebut naik keatas mobil bak terbuka. Kemudian mereka melaju dengan kecepatan tinggi menggunakan mobil bak terbuka. Lalu, apa itu ‘Kawin Tangkap’? Apa saja fakta – fakta menarik dari tradisi ‘Kawin Tangkap’?
Tradisi Suku Sumba
Tradisi ‘Kawin Tangkap’ atau Piti Rambang merupakan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat Suku Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) ‘menangkap’ seorang wanita untuk dinikahkan dengan seorang pria. Tradisi ini berakar dari Suku Sumba yang menganut garis keturunan patrilineal dalam dalam kehidupan mereka. Dimana dalam perkembangannya, terdapat budaya patriarki yang lebih menonjolkan pemikiran bahwa pria dominan dibandingkan wanita. Melalui pemikiran tersebut, tradisi ini lahir di tengah – tengah masyarakat Suku Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Tahapan Prosesi ‘Kawin Tangkap’ atau Piti Rambang
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maramba, dkk (2022), terdapat beberapa tahapan prosesi dalam pelaksanaan ‘Kawin Tangkap’ atau Piti Rambang. Prosesi pelaksanaan biasanya dilakukan oleh seorang lelaki yang dibantu oleh sekelompok rekannya dengan cara menculik seorang wanita yang akan dijadikan istri. Wanita yang menjadi korban ‘kawin tangkap’ tersebut biasanya tidak ditolong oleh masyarakat, karena mereka meyakini bahwa hal tersebut merupakan hal yang wajar dilakukan dan merupakan adat istiadat yang hadir ditengah – tengah masyarakat. Setelah kawin tangkap atau piti rambang dilakukan, maka pihak pria akan melakukan beberapa hal, seperti : 1) mengirimkan wunnang (pemberitahuan) kepada pihak keluarga wanita yang ditangkap; 2) menentukan waktu pelunasan denda adat dan menyerahkan beberapa ekor hewan ternak seperti kuda, sapi, dan kerbau sebagai permintaan maaf; 3) setelah pihak pria memberikan hewan ternak, maka pihak wanita akan membalas dengan memberikan tenun ikat; 4) setelah terjadi tukar menukar, maka kedua belah pihak keluarga sepakat telah terjalin hubungan kekeluargaan.
Tidak Serta Merta Dapat Dilakukan
Dalam tradisi lama Suku Sumba, ‘Kawin Tangkap’ tidak bisa serta merta dilakukan. Perempuan yang akan ditangkap biasanya sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Wanita tersebut sudah didandani dengan pakaian adat lengkap sebelum ‘ditangkap’. Pria yang akan ‘menangkap’ juga menggunakan pakaian adat lengkap dan menunggangi sebuah kuda. Sebelum dilaksanakannya Kawin Tangkap atau Piti Rambang, pihak keluarga pria sudah sepakat melaksanakannya dan siap untuk bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan adat Suku Sumba.
Bukan Merupakan Budaya Murni Suku Sumba
Berdasarkan penjelasan dari Pengamat Budaya Sumba, Frans Wora Hebi (dalam Dewi, 2022) menjelaskan bahwa ‘Kawin Tangkap’ bukan budaya murni Sumba yang diwariskan secara turun – temurun. Budaya Suku Sumba merupakan pernikahan atau perkawinan yang mengikuti prosedur adat yang sistematis. ’Kawin Tangkap’ merupakan praktik yang berkembang di tengah – tengah masyarakat dan berlindung dibalik klaim budaya untuk menghindari penindakan hukum. Penindakan hukum terhadap pelaku ‘Kawin Tangkap’ dinilai kurang tegas dan terkesan dibiarkan begitu saja. Sehingga kejadian tersebut terus saja berulang terjadi setiap tahunnya.
Melanggar Aturan dalam Undang – Undang
Pelaksanaan ‘Kawin Tangkap’ dilakukan dengan cara pemaksaan dan hanya terjadi atas kesepakatan satu pihak saja. Hal ini bertentangan dengan UU Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pemaksaan perkawinan tanpa persetujuan pihak wanita tidak dapat membangun keluarga yang bahagia. Pemaksaan tersebut dapat menimbulkan masalah psikologis atau mental wanita yang menjadi korban ‘Kawin Tangkap’. Selain itu, dalam ‘Kawin Tangkap’ sudah pasti terdapat tindakan penculikan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 328 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” (Kementerian Hukum dan HAM, 2013).
Itulah fakta – fakta yang terdapat pada tradisi ‘Kawin Tangkap’ atau Piti Rambang pada Masyarakat Suku Sumba. Semoga dapat menambah pengetahuan pembaca.
(riz/riy)
Referensi :
Dewi, D. K. (2022). Tradisi Kawin Tangkap Sumba dan Perspektif Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Law Jurnal, 107-115.
Doko, E. W., Suwetra, I., & Sudibya, D. G. (2021). Tradisi Kawin Tangkap (Piti Rambang) Suku Sumba di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Konstruksi Hukum, 656-660.
Kelen, K. D. (2022). Kawin Tangkap di Sumba dan Ketidakadilan Gender. ideaspublishing.id, 625-632.
Maramba, R. S., Salam, S., Indah, R. H., & Pajaru, L. (2022). Piti Maranggangu (Kawin Tangkap) Dalam Perspektif Hukum. Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial, 46-60.