Fenomena Makanan Viral: Tren Kuliner atau Sekadar Konten?

Fenomena Makanan Viral: Tren Kuliner atau Sekadar Konten?
gambar HappyFresh

Fenomena Makanan Viral: Tren Kuliner atau Sekadar Konten?

Beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi dapur baru bagi dunia kuliner. Tidak hanya koki atau food blogger yang bisa menciptakan tren, tetapi siapa pun yang memiliki kamera dan akun TikTok atau Instagram. Mulai dari croffle, Korean garlic bread, es krim Indomie, sampai rice paper yang disulap jadi camilan renyah—semuanya pernah viral, ditiru, dan diburu.

Tapi muncul pertanyaan penting: apakah fenomena ini menunjukkan perubahan tren kuliner yang substansial, atau sekadar momen “konten cepat saji” yang tak punya nilai jangka panjang?

Mari kita bahas lebih dalam.

Makanan dan Media Sosial: Cinta yang Tak Terpisahkan

Di era digital, makanan bukan lagi sekadar untuk dimakan—ia adalah objek visual, hiburan, bahkan simbol status. Lewat konten makanan yang menarik secara visual dan “unik”, banyak orang mendapatkan atensi, follower, hingga peluang bisnis. Video slow motion mozzarella yang meleleh, ASMR makanan pedas, atau warna minuman yang estetik sudah menjadi format konten favorit banyak orang.

Makanan kini bukan hanya soal rasa, tapi juga sensasi visual dan viralitas. Semakin nyeleneh, semakin cepat menyebar.

Apa yang Membuat Makanan Bisa Viral?

Ada beberapa faktor utama yang membuat sebuah makanan jadi viral:

  1. Visual yang memikat: Warna cerah, bentuk unik, dan tampilan Instagramable.
  2. Ide yang out of the box: Kombinasi bahan tak biasa atau penyajian yang berbeda dari umumnya.
  3. Narasi atau tantangan: Misalnya, “mie pedas level 100” atau “makan burger raksasa sendirian”.
  4. Mudah ditiru atau dibuat ulang: Resep sederhana yang bisa dijajal semua orang di rumah.
  5. Didukung oleh figur publik atau selebgram.

Tapi yang viral belum tentu enak, dan yang enak belum tentu viral. Di sinilah letak perbedaan antara tren kuliner yang lahir dari inovasi cita rasa dan fenomena konten yang lahir dari algoritma media sosial.

Kita bisa lihat, tidak semua yang viral akan bertahan lama di lidah dan hati masyarakat. Banyak makanan viral yang hanya dicoba sekali karena penasaran, lalu dilupakan. Sebaliknya, ada makanan yang lahir dari tren tapi tumbuh jadi budaya baru karena memang memberi pengalaman kuliner yang autentik dan memuaskan.

Dampak Positif Fenomena Makanan Viral

Walaupun sering dianggap “hanya buat konten”, makanan viral juga memberi dampak positif, terutama bagi industri kuliner:

  1. Membuka peluang bisnis baru: Banyak UMKM kuliner lahir dari resep viral yang mereka modifikasi dan jual.
  2. Mendorong kreativitas: Memicu para pelaku kuliner untuk terus berinovasi dan beradaptasi.
  3. Memperkenalkan makanan lokal: Ketika makanan daerah diviralkan, bisa menaikkan nilai ekonomi dan pariwisata.
  4. Menyatukan komunitas: Banyak tren kuliner memunculkan komunitas baru, seperti pecinta kopi dalgona, pemburu street food unik, atau pemula baking rumahan.

Namun, Ada Juga Sisi Negatifnya

Fenomena makanan viral bukan tanpa risiko:

  • Mengaburkan standar rasa: Makanan dinilai dari tampilan, bukan kualitas atau keseimbangan rasa.
  • Pemborosan bahan: Banyak orang membuat makanan viral demi konten, lalu dibuang karena tidak dimakan.
  • Resep tidak sehat: Beberapa tren memakai bahan berlebihan, seperti keju, gula, atau makanan instan, yang tidak ramah kesehatan jika dikonsumsi rutin.
  • Menimbulkan ekspektasi palsu: Video yang diedit dengan cantik membuat makanan tampak lebih “wah” dari kenyataannya.

Peran Konsumen: Bijak Menyikapi Makanan Viral

Sebagai konsumen, kita perlu menyadari bahwa tidak semua makanan viral layak ditiru atau dikonsumsi secara rutin. Beberapa pertanyaan yang bisa jadi pertimbangan sebelum ikut tren:

  • Apakah makanan ini benar-benar sehat atau hanya menarik dilihat?
  • Apakah saya benar-benar ingin mencobanya, atau hanya ikut-ikutan?
  • Apakah tren ini menghargai nilai gizi, bahan lokal, atau budaya kuliner?
  • Apakah saya membuat dan mengonsumsi makanan ini secara bertanggung jawab?

Dengan begitu, kita tidak sekadar menjadi penonton pasif dalam arus viralitas, tapi menjadi konsumen cerdas yang memilih dengan rasa dan nalar.

Viral Itu Bonus, Tapi Rasa Tetap Raja

Fenomena makanan viral adalah bagian dari realitas kuliner zaman sekarang. Ia bisa menjadi batu loncatan kreativitas, penggerak ekonomi, hingga gerbang promosi budaya. Namun, viralitas seharusnya tidak mengalahkan esensi: makanan dibuat untuk dinikmati, bukan hanya ditonton.

Jadi, apakah makanan viral itu tren kuliner atau sekadar konten? Jawabannya bisa dua-duanya—tergantung bagaimana kita memaknainya. Bila ia lahir dari inovasi yang menjaga rasa, nilai, dan keberlanjutan, maka ia layak disebut sebagai tren kuliner. Tapi jika hanya diciptakan untuk “likes” dan “views”, maka itu hanyalah konten sesaat.

Yang penting, kita tetap punya kendali di lidah dan pikiran: jangan biarkan algoritma menentukan selera makan kita.